Senin, 09 Juni 2014

Suara-Suara Angin (Episode 3: Hijrah)


Hijrah


                Malam ini seolah bertuah bagi Mala. Betapa tidak, suasana hujan tentu akan memaksa penduduk sekitar untuk berdiam diri di dalam rumah. Ah, lebih tepat lagi menikmati suasana hujan, dingin berangin di dalam kamar. Sama halnya dengan kedua orang tua Mala. Keduanya telah lelap sejak sejam yang lalu. Mala menatap jarum jam di lengannya. Pukul 01.35 wib. Hujan memang begitu lebat, tapi tanpa kilat. Lamat-lamat Mala melangkah keluar rumah. Kunci rumah di lempar kembali lewat celah pintu bagian bawah. Setelah payung terkembang, ia pun mulai menyusuri hujan. Setapak demi setapak. Hanya gelap, gemericik hujan, dan  suara tapak kaki yang beradu dengan aspal yang menemani hingga tiba di jalan besar.

            Mala mulai menggigil. Jaket jeans-nya tak mempan terhadap dinginnya hujan. Kakinya mulai gemetaran. Entah telah berapa kilometer jalan ditempuh oleh Mala. Suasana malam yang basah membuat jalanan kosong oleh kendaraan. Mala tak perduli, tujuannya satu, terminal. Dan, lantas ia pun terus berjalan seiring langit memudar. Dan hujan menghindar. Saat itu, ia telah sampai di terminal.

Pukul 06.15 wib.  Mala tak lupa menunaikan subuhnya di masjid yang terpajang di terminal. Usai itu ia segera menuju kantin. Syukurlah, saat itu beberapa kantin mulai membuka warungnya. Mala mengisi perut di salah satunnya. “Mau sarapan apa, Kak? Lontong atau nasi?” Tanya perempuan berparas Aceh campuran india arab. Aku asal menebak, karena raut wajahnya begitu khas.
“Ehm, lontong aja, Kak.”
“Minumnya?”
“Teh manis hangat, Kak”
“Bentar ya Kak”
Aku duduk di salah satu kursi menghadap ke jalan. Selang beberapa menit perempuan berparas india campur arab itu datang membawa pesanan. Tak butuh waktu lama untukku mengosongkan piring dan gelas itu. Selain lapar, aku doyan juga.

***

Bus melaju dengan pelan melewati pintu keluar terminal. Mala memilih bus paling pagi. Dan pukul 09.00 wib adalah keberangkatan paling awal. Dialihkan pandangannya ke jendela kamar. Mereka masih melewati kawasan berpenduduk. Ada sekelompok ibu-ibu yang berkerumun di warung penjual sayur mayur. Ada lelaki tua yang mengayuh sepeda di pinggir jalan. Diam-diam Mala menebak ia hendak pergi ke ladang. Ups, terlihat pula bocah laki-laki berusia kira-kira sepuluh tahun berjalan di antara kendaraan yang berhenti karena lampu merah. Bocah itu menggendong setumpuk koran. Dalam hati Mala bergumam, “Apa dia tidak sekolah? Ah, mungkin dia mendapat jatah sekolah sift siang hingga sore,” jawabnya dalam hati, menghibur diri. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu segera menghembuskannya lagi. Mala merasakan nafasnya bercampur dengan udara pagi yang basah. Tiba-tiba aku teringat Ayah dan Ibu. Diintipnya ponsel mungil yang kerap menemaninya itu di saku tas, tergeletak tanpa nyawa.

Perjalanan telah berlalu sekitar dua jam. Mala melirik kursi sebelah yang masih kosong. Untuk sesaat kondisi ini membuatnya nyaman. Namun, tidak pada saat selanjutnya. Karena, bus tiba-tiba berhenti di salah satu halte di daerah perbatasan Aceh-Medan. Dan, duduklah seorang ibu-ibu bersama seorang bocah perempuan di gendongannya. Mala kira wanita itu seusia dengan adik mama, tante Reni. Sedang anaknya, tentu masih sekitaran dua tahun. “Tante, tante, kenapa liatin dedek telus? Dedek antik yah?” Lamunan Mala terpecah. Mala terperangah. Takjub. “Haa? Eh, iya! Tante suka liat dedek, karena cantik,” jawabnya dengan spontan. Mala menangkap ibunya tersenyum mendengar percakapan kami.  Dalam sekejap, Mala dan ibu beranak itu menjadi akrab. Terakhir Mala tahu, wanita itu ternyata adalah seorang janda. Ia dan suaminya menikah empat tahun lalu. Selang dua bulan setelah kelahiran sang buah hati, suaminya memutuskan untuk merantau ke Medan dengan berbagai pertimbangan. Awalnya Marni keberatan, tapi demi si buah hati, ia pun rela. Tak disangka, komunikasi terputus setelah setahun kepergian suami. Padahal, sejak pertama kali merantau, suami Marni baru sekali pulang. Saat ini, Marni tak mampu lagi menahan gejolak rindu. Bukan hanya itu, ia juga tahu, sang putri tentu diam-diam merindukan sosok seorang ayah. Marni sering memergoki Dedek tengah memperhatikan anak-anak tetangga yang sedang asyik bercanda dengan ayah mereka. Bahkan, tak jarang pula, Dedek mengigau menyebut-nyebut nama ayahnya. Padahal, sejak ia menatap dunia, hanya sebentar ia melihat ayahnya. Namun, mengapa terlihat begitu dalam tali ikatan batin yang bersarang di jiwanya? Entahlah.  Barangkali, Rizal juga menyimpan rasa yang sama.

Bukannya Marni tak pernah mengadu pada polisi. Lebih dari itu, Marni dan keluarga telah menghubungi wartawan harian lokal maupun nasional untuk memasang pengumuman, menyebar dan menempel selebaran di sepanjang kota Medan dan Aceh. Terakhir, membuat acara kirim doa selama tiga hari berturut-turut. Memohon bantuan sang Maha Tahu. Berharap Rizal akan kembali baik dalam keadaan hidup maupun sebaliknya. Marni dan keluarga telah pasrah. Jujur, aku begitu tersentuh dengan kisah ini. Mala yang mempunyai keluarga lengkap dan begitu menyayangiku justru memilih pergi hanya gara-gara seseorang yang bahkan belum tentu memikirkan nasibku sekarang. Bocah ini? Hmm… Diam-diam aku meneteskan air mata. Dalam hati aku memohon ampun pada Allah swt. agar senantiasa menjaga dan melindungi ibu dan ayah. “Aku hanya pergi ‘tuk sementara…,” alunan lagu Pasto mengalun indah. Membuai sukma para penumpang hingga terlelap dalam mimpi sepanjang perjalanan memasuki Medan.


Jarum jam menunjuk angka 09.35 wib. saat bus tiba di terminal Kota Medan. Seluruh penumpang turun dari bus bagai semut yang keluar dari sarangnya. Sesaat Mala merasa bingung. Pasalnya ini kali pertama aku menginjak tanah ini sendiri. Mala buta akan wilayah ini. Tanpa berpikir lama, Mala melangkahkan kaki menuju salah satu rumah makan yang kupastikan berlebel halal. Rumah makan “Rahmat” khas Minang.

Terminal masih ramai. Banyak calon penumpang, supir, kernet, pedagang asongan, atau penduduk setempat yang lalu lalang melewati terminal untuk berbagai tujuan. Kutatap piring nasi telah bersih. Gelas berisi teh hangat pun kosong. Mala tiba-tiba teringat Ibu dan Ayah. Mala kangen. Mala merasa berdosa. Tapi, manakala Mala berniat menghidupkan ponselnya untuk menelpon orangtua, bayangan ketakutan muncul kembali. Mala khawatir jika ia menghubungi orangtuanya sekarang, maka rencananya untuk pergi jauh akan terhambat atau bahkan batal. Kini, Mala semakin yakin untuk hijrah. Mala ingin pergi ke suatu tempat yang jauh. Jauh dari kesedihan, ketakutan, kesunyian, kerinduan yang tak ada ujung. Walau demikian, Mala tetap akan kembali. Tapi, nanti. Ketika ia telah terobati. Ketika ia telah benar-benar pulih.

Mala menatap musalla dengan perasaan campuraduk. Memang di saat-saat sulit manusia cenderung merasa lemah tak berdaya. Hingga kemudian merasa tak ada yang mampu menolong kecuali Dia, Allah sang Maha Penyayang. Mala merasa selama ini ibadahnya telah menurun. Ia telah sebulan tidak menyentuh Al-Quran. Shalat hanya wajib saja yang dikerjakan. Sekadar memenuhi kewajiban tanpa melaksanakan yang sunnah. Padahal, sebulan itu Mala juga merasa sulit, namun mengapa ia seakan tak peka? Mungkin saat ini Mala benar-benar merasa sendiri. Tak ada orang tua. Tak ada teman. Tak ada siapapun, kecuali Ia. Allah sang Maha Penyayang. Mungkin saat itu Mala merasa bahwa ia diciptakan sebagai manusia yang paling menderita. Kesedihan membuatnya lebih mendengar bisikan kemalasan, ketimbang pendekatan diri pada Allah. Ditatapnya mobil bus dan L300 masih berjajar rapi di lapangan terminal. Sedangkan supir dan kernet masih sibuk memburu penumpang. Sesaat kemudian, Mala mengalihkan pandangannya kembali pada mushalla. Lebih dalam, lebih mantap.

Wajah Mala terlihat lebih cerah usai melaksanakan shalat sunnah dua rakaat. Senyumnya semakin merekah manakala ia mendapati seorang supir tengah melambaikan tangan ke arahnya. “Jakarta, waiting for me!” Mala berucap dengan pasti. “Mau ke Jakarta, Mbak?” Tanya supir ketika Mala mendekati bus. “Iya, Bang!” Setengah jam kemudian, bus melaju dengan mulus. Semulus rencana Mala. Rencana yang penuh dengan misteri. Karena, Mala sendiri belum tau pasti apa yang akan ia lakukan nanti di ibu kota pertiwi.

Bersambung...  





 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar