Hijrah
Malam ini seolah bertuah bagi Mala.
Betapa tidak, suasana hujan tentu akan memaksa penduduk sekitar untuk berdiam
diri di dalam rumah. Ah, lebih tepat lagi menikmati suasana hujan, dingin
berangin di dalam kamar. Sama halnya dengan kedua orang tua Mala. Keduanya
telah lelap sejak sejam yang lalu. Mala menatap jarum jam di lengannya. Pukul
01.35 wib. Hujan memang begitu lebat, tapi tanpa kilat. Lamat-lamat Mala
melangkah keluar rumah. Kunci rumah di lempar kembali lewat celah pintu bagian
bawah. Setelah payung terkembang, ia pun mulai menyusuri hujan. Setapak demi
setapak. Hanya gelap, gemericik hujan, dan
suara tapak kaki yang beradu dengan aspal yang menemani hingga tiba di
jalan besar.
Mala mulai
menggigil. Jaket jeans-nya tak mempan
terhadap dinginnya hujan. Kakinya mulai gemetaran. Entah telah berapa kilometer
jalan ditempuh oleh Mala. Suasana malam yang basah membuat jalanan kosong oleh
kendaraan. Mala tak perduli, tujuannya satu, terminal. Dan, lantas ia pun terus
berjalan seiring langit memudar. Dan hujan menghindar. Saat itu, ia telah
sampai di terminal.
Pukul 06.15 wib. Mala tak lupa menunaikan subuhnya di masjid
yang terpajang di terminal. Usai itu ia segera menuju kantin. Syukurlah, saat
itu beberapa kantin mulai membuka warungnya. Mala mengisi perut di salah
satunnya. “Mau sarapan apa, Kak? Lontong atau nasi?” Tanya perempuan berparas
Aceh campuran india arab. Aku asal menebak, karena raut wajahnya begitu khas.
“Ehm, lontong aja, Kak.”
“Minumnya?”
“Teh manis hangat, Kak”
“Bentar ya Kak”
Aku duduk di salah satu kursi
menghadap ke jalan. Selang beberapa menit perempuan berparas india campur arab
itu datang membawa pesanan. Tak butuh waktu lama untukku mengosongkan piring
dan gelas itu. Selain lapar, aku doyan juga.
***
Bus melaju dengan pelan melewati
pintu keluar terminal. Mala memilih bus paling pagi. Dan pukul 09.00 wib adalah
keberangkatan paling awal. Dialihkan pandangannya ke jendela kamar. Mereka masih
melewati kawasan berpenduduk. Ada sekelompok ibu-ibu yang berkerumun di warung
penjual sayur mayur. Ada lelaki tua yang mengayuh sepeda di pinggir jalan. Diam-diam Mala menebak
ia hendak pergi ke ladang. Ups, terlihat pula bocah laki-laki berusia
kira-kira sepuluh tahun berjalan di antara kendaraan yang berhenti karena lampu
merah. Bocah itu menggendong setumpuk koran. Dalam hati Mala bergumam, “Apa dia
tidak sekolah? Ah, mungkin dia mendapat jatah sekolah sift siang hingga sore,” jawabnya dalam hati, menghibur diri. Ditariknya nafas dalam-dalam lalu segera menghembuskannya lagi. Mala merasakan nafasnya bercampur dengan udara pagi yang basah. Tiba-tiba aku teringat Ayah dan Ibu. Diintipnya ponsel mungil yang kerap menemaninya itu di saku tas, tergeletak tanpa nyawa.
Perjalanan telah berlalu sekitar dua
jam. Mala melirik kursi sebelah yang masih kosong. Untuk sesaat kondisi ini membuatnya nyaman. Namun, tidak pada saat selanjutnya. Karena, bus tiba-tiba berhenti di
salah satu halte di daerah perbatasan Aceh-Medan. Dan, duduklah seorang ibu-ibu
bersama seorang bocah perempuan di gendongannya. Mala kira wanita itu seusia
dengan adik mama, tante Reni. Sedang anaknya, tentu masih sekitaran dua tahun.
“Tante, tante, kenapa liatin dedek telus? Dedek antik yah?” Lamunan Mala terpecah. Mala terperangah. Takjub. “Haa? Eh, iya! Tante suka liat dedek, karena cantik,”
jawabnya dengan spontan. Mala menangkap ibunya tersenyum mendengar percakapan kami. Dalam sekejap, Mala dan ibu beranak itu menjadi
akrab. Terakhir Mala tahu, wanita itu ternyata adalah seorang janda. Ia dan
suaminya menikah empat tahun lalu. Selang dua bulan setelah kelahiran sang buah
hati, suaminya memutuskan untuk merantau ke Medan dengan berbagai pertimbangan.
Awalnya Marni keberatan, tapi demi si buah hati, ia pun rela. Tak disangka,
komunikasi terputus setelah setahun kepergian suami. Padahal, sejak pertama
kali merantau, suami Marni baru sekali pulang. Saat ini, Marni tak mampu lagi
menahan gejolak rindu. Bukan hanya itu, ia juga tahu, sang putri tentu
diam-diam merindukan sosok seorang ayah. Marni sering memergoki Dedek tengah
memperhatikan anak-anak tetangga yang sedang asyik bercanda dengan ayah mereka.
Bahkan, tak jarang pula, Dedek mengigau menyebut-nyebut nama ayahnya. Padahal,
sejak ia menatap dunia, hanya sebentar ia melihat ayahnya. Namun, mengapa terlihat
begitu dalam tali ikatan batin yang bersarang di jiwanya? Entahlah. Barangkali, Rizal juga menyimpan rasa yang
sama.
Bukannya Marni tak pernah mengadu
pada polisi. Lebih dari itu, Marni dan keluarga telah menghubungi wartawan
harian lokal maupun nasional untuk memasang pengumuman, menyebar dan menempel
selebaran di sepanjang kota Medan dan Aceh. Terakhir, membuat acara kirim doa
selama tiga hari berturut-turut. Memohon bantuan sang Maha Tahu. Berharap Rizal
akan kembali baik dalam keadaan hidup maupun sebaliknya. Marni dan keluarga
telah pasrah. Jujur, aku begitu tersentuh dengan kisah ini. Mala yang mempunyai
keluarga lengkap dan begitu menyayangiku justru memilih pergi hanya gara-gara
seseorang yang bahkan belum tentu memikirkan nasibku sekarang. Bocah ini? Hmm… Diam-diam
aku meneteskan air mata. Dalam hati aku memohon ampun pada Allah swt. agar
senantiasa menjaga dan melindungi ibu dan ayah. “Aku hanya pergi ‘tuk
sementara…,” alunan lagu Pasto mengalun indah. Membuai sukma para penumpang
hingga terlelap dalam mimpi sepanjang perjalanan memasuki Medan.
Jarum jam menunjuk angka 09.35 wib.
saat bus tiba di terminal Kota Medan. Seluruh penumpang turun dari bus bagai
semut yang keluar dari sarangnya. Sesaat Mala merasa bingung. Pasalnya ini kali
pertama aku menginjak tanah ini sendiri. Mala buta akan wilayah ini. Tanpa
berpikir lama, Mala melangkahkan kaki menuju salah satu rumah makan yang
kupastikan berlebel halal. Rumah makan “Rahmat” khas Minang.
Terminal masih ramai. Banyak calon
penumpang, supir, kernet, pedagang asongan, atau penduduk setempat yang lalu
lalang melewati terminal untuk berbagai tujuan. Kutatap piring nasi telah
bersih. Gelas berisi teh hangat pun kosong. Mala tiba-tiba teringat Ibu dan
Ayah. Mala kangen. Mala merasa berdosa. Tapi, manakala Mala berniat menghidupkan
ponselnya untuk menelpon orangtua, bayangan ketakutan muncul kembali. Mala
khawatir jika ia menghubungi orangtuanya sekarang, maka rencananya untuk pergi
jauh akan terhambat atau bahkan batal. Kini, Mala semakin yakin untuk hijrah.
Mala ingin pergi ke suatu tempat yang jauh. Jauh dari kesedihan, ketakutan,
kesunyian, kerinduan yang tak ada ujung. Walau demikian, Mala tetap akan
kembali. Tapi, nanti. Ketika ia telah terobati. Ketika ia telah benar-benar
pulih.
Mala menatap musalla dengan perasaan
campuraduk. Memang di saat-saat sulit manusia cenderung merasa lemah tak
berdaya. Hingga kemudian merasa tak ada yang mampu menolong kecuali Dia, Allah
sang Maha Penyayang. Mala merasa selama ini ibadahnya telah menurun. Ia telah
sebulan tidak menyentuh Al-Quran. Shalat hanya wajib saja yang dikerjakan.
Sekadar memenuhi kewajiban tanpa melaksanakan yang sunnah. Padahal, sebulan itu
Mala juga merasa sulit, namun mengapa ia seakan tak peka? Mungkin saat ini Mala
benar-benar merasa sendiri. Tak ada orang tua. Tak ada teman. Tak ada siapapun,
kecuali Ia. Allah sang Maha Penyayang. Mungkin saat itu Mala merasa bahwa ia
diciptakan sebagai manusia yang paling menderita. Kesedihan membuatnya lebih
mendengar bisikan kemalasan, ketimbang pendekatan diri pada Allah. Ditatapnya
mobil bus dan L300 masih berjajar rapi di lapangan terminal. Sedangkan supir
dan kernet masih sibuk memburu penumpang. Sesaat kemudian, Mala mengalihkan
pandangannya kembali pada mushalla. Lebih dalam, lebih mantap.
Wajah Mala terlihat lebih cerah usai melaksanakan
shalat sunnah dua rakaat. Senyumnya semakin merekah manakala ia mendapati
seorang supir tengah melambaikan tangan ke arahnya. “Jakarta, waiting for me!”
Mala berucap dengan pasti. “Mau ke Jakarta, Mbak?” Tanya supir ketika Mala
mendekati bus. “Iya, Bang!” Setengah jam kemudian, bus melaju dengan mulus.
Semulus rencana Mala. Rencana yang penuh dengan misteri. Karena, Mala sendiri
belum tau pasti apa yang akan ia lakukan nanti di ibu kota pertiwi.
Bersambung...
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar