Senja yang sendu. Udara kering menghempas dedaunan kuning
kecokelatan yang terserak di tanah. Jalanan lengang. Di bawah pohon mangga,
sebuah kursi taman terpatri dan seorang gadis duduk di atasnya. Muram
menggelayut di wajah pucatnya. Gelisah terpancar dari sorot mata kosong. Femmy,
begitu ia akrab disapa, belakangan sering sekali menyambangi taman itu. Dan
kursi taman berbahan besi itu menjadi favoritnya.
Dua bulan yang lalu ia baru saja
datang ke tempat itu. Seperti hari-hari sebelumnya, ia hanya membawa diri
dengan satu tas mungil berisikan handphone, bedak, lipstick dan dompet. Saat
itu ia memakai baju rajutan berwarna pink lembut, rok payung hitam spandex dan
jilbab paris dengan warna senada. Femmy memang
senang sekali menyendiri, dan paling sering di tempat itu. Di sana ia dapat mencurahkan
segala rupa isi hati. Tak jarang pula ia menelurkan berbagai puisi indah. Di
taman itu, ia kerap merasa nyaman dan mendapat kehangatan.
Semua itu sempat hilang, manakala
sebuah hari datang. sebuah hari yang senantiasa meneteskan buliran rindu di tiap harinya pada taman itu.
Sebuah hari di mana ia terjerat dengan kondisi yang memaksanya untuk tidak
dapat berjalan bahkan merangkak ke taman itu. Femmy, gadis berusia delapan
belas tahun itu divonis kanker otak stadium empat. Femmy yang kerap tertutup
terhadap siapapun menyebabkan penyakitnya itu tak terdeteksi oleh siapapun,
termasuk dirinya sendiri. Femmy memang sering merasakan sakit di kepalanya
secara tiba-tiba. Namun, ia selalu meredamnya dengan minum pil anti nyeri.
Setelah beristirahat sebentar, ia pun merasa bugar kembali. Namun, naas, setiap
rasa sakit itu muncul, tak pernah ada orang terdekat berada di sampingnya.
Femmy, sejak kecil memang hidup
mandiri. Rumah besar, pembantu banyak tak cukup membuat Femmy bahagia. Kasih
sayang lebih yang seharusnya ia dapatkan sebagai putri tunggal justru terenggut
oleh kesibukan kedua orangtuanya. Malang nasib Femmy, ia menjadi tertutup sejak
kecil. Sekolah pun ia terpaksa homeschooling, bersebab orangtua tak sempat mengurusi
urusan di sekolah formal. Pribadi tertutup pun semakin terbentuk pada diri
Femmy hingga ia remaja.
Hari ini, Femmy kabur dari
pembaringan. Femmy tak betah lagi berdiam di kamar. Femmy pergi dengan badan
lemah. Ia tergopoh dengan kucuran keringat dingin terus mengalir di wajah. Tak
perduli, Femmy tetap berjalan hingga ia berhasil duduk kembali di kursi
kesayangannya itu. Ditariknya nafas perlahan. Dihirupnya udara begitu segar
memenuhi rongga hidung dan tenggorokan. Ia merasakan suatu sensasi kelegaan.
Walau bibir itu belum mampu menyunggingkan senyum tapi setidaknya batinnya
sedikit terobati.
Tak lama, Femmy merasakan kantuk
luar biasa, Femmy pun mengambil posisi untuk tidur pada kursi.
Badannya yang mungil cukup nyaman untuk direbahkan pada kursi. Dalam sekejap,
Femmy terbang ke dunia lain. Dunia yang ia sendiri tak tahu itu di mana. Dunia
yang ia sendiri tak tahu apa namanya. Yang jelas, di sana ia dapat melihat
begitu banyak sosok hangat menyambutnya, mengulurkan tangan padanya, dan mengucapkan
salam padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar