Selasa, 25 Agustus 2015

Femmy, Oh, Femmy...

Senja yang sendu. Udara kering menghempas dedaunan kuning kecokelatan yang terserak di tanah. Jalanan lengang. Di bawah pohon mangga, sebuah kursi taman terpatri dan seorang gadis duduk di atasnya. Muram menggelayut di wajah pucatnya. Gelisah terpancar dari sorot mata kosong. Femmy, begitu ia akrab disapa, belakangan sering sekali menyambangi taman itu. Dan kursi taman berbahan besi itu menjadi favoritnya.

Dua bulan yang lalu ia baru saja datang ke tempat itu. Seperti hari-hari sebelumnya, ia hanya membawa diri dengan satu tas mungil berisikan handphone, bedak, lipstick dan dompet. Saat itu ia memakai baju rajutan berwarna pink lembut, rok payung hitam spandex dan jilbab paris dengan warna senada. Femmy memang senang sekali menyendiri, dan paling sering di tempat itu. Di sana ia dapat mencurahkan segala rupa isi hati. Tak jarang pula ia menelurkan berbagai puisi indah. Di taman itu, ia kerap merasa nyaman dan mendapat kehangatan.

Semua itu sempat hilang, manakala sebuah hari datang. sebuah hari yang senantiasa meneteskan buliran rindu di tiap harinya pada taman itu. Sebuah hari di mana ia terjerat dengan kondisi yang memaksanya untuk tidak dapat berjalan bahkan merangkak ke taman itu. Femmy, gadis berusia delapan belas tahun itu divonis kanker otak stadium empat. Femmy yang kerap tertutup terhadap siapapun menyebabkan penyakitnya itu tak terdeteksi oleh siapapun, termasuk dirinya sendiri. Femmy memang sering merasakan sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Namun, ia selalu meredamnya dengan minum pil anti nyeri. Setelah beristirahat sebentar, ia pun merasa bugar kembali. Namun, naas, setiap rasa sakit itu muncul, tak pernah ada orang terdekat berada di sampingnya.

Femmy, sejak kecil memang hidup mandiri. Rumah besar, pembantu banyak tak cukup membuat Femmy bahagia. Kasih sayang lebih yang seharusnya ia dapatkan sebagai putri tunggal justru terenggut oleh kesibukan kedua orangtuanya. Malang nasib Femmy, ia menjadi tertutup sejak kecil. Sekolah pun ia terpaksa  homeschooling, bersebab orangtua tak sempat mengurusi urusan di sekolah formal. Pribadi tertutup pun semakin terbentuk pada diri Femmy hingga ia remaja.

Hari ini, Femmy kabur dari pembaringan. Femmy tak betah lagi berdiam di kamar. Femmy pergi dengan badan lemah. Ia tergopoh dengan kucuran keringat dingin terus mengalir di wajah. Tak perduli, Femmy tetap berjalan hingga ia berhasil duduk kembali di kursi kesayangannya itu. Ditariknya nafas perlahan. Dihirupnya udara begitu segar memenuhi rongga hidung dan tenggorokan. Ia merasakan suatu sensasi kelegaan. Walau bibir itu belum mampu menyunggingkan senyum tapi setidaknya batinnya sedikit terobati.


Tak lama, Femmy merasakan kantuk luar biasa, Femmy pun mengambil posisi untuk tidur pada kursi. Badannya yang mungil cukup nyaman untuk direbahkan pada kursi. Dalam sekejap, Femmy terbang ke dunia lain. Dunia yang ia sendiri tak tahu itu di mana. Dunia yang ia sendiri tak tahu apa namanya. Yang jelas, di sana ia dapat melihat begitu banyak sosok hangat menyambutnya, mengulurkan tangan padanya, dan mengucapkan salam padanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar