Selasa, 20 Agustus 2019

Sepotong Senja (Bab 2)

Hari yang ditunggu pun tiba. Aku lahir dan tentu ibu beserta keluarga sangat senang, termasuk ayahku yang mendapat kabar melalui surat. Namaku Cut Atthahirah. Cut menandakan bahwa aku dara keturunan Aceh. Sementara Atthahirah artinya suci dan sekaligus julukan Sayyidati Khadijah. Kelak ayah dan ibuku berharap aku akan tumbuh menjadi wanita yg memiliki kesucian dan kehormatan. Hari-hari selanjutnya dilalui. Ibuku diurut oleh Bu Reno, salah satu istri TNI senior. Kini mereka tinggal di dekat Asrama. Dan membuka warung nasi. Ibu Reno juga memiliki dua anak perempuan yang menikah dengan TNI dan tinggal di asrama pula. Bu Reno memang sering dipanggil untuk mengurut ibu-ibu pasca melahirkan.
Sementara itu, ayahku di hutan Kamboja sana terus menghitung hari. Kapan pulang? Pertama yang senantiasa melintas di benaknya. Ia sangat rindu istri dan jangan bertemu bayi mungilnya.

Saat itu pagi menjelang siang. Ibuku hendak memasak air panas. Dan, qadarullah dia mengambil kursi lalu mengambil teko listrik di atas lemari. Ia lantas mengisi air ke dalam teko dan mulai mencolok kabel ke sekelar. Baru saja dicolok, spontan aliran listrik mengalir dari sekelar ke kabel dan tentu ke seluruh tubuh ibuku hingga akhirnya ia terkapar di lantai. Aku yang berada di ayunan tidak tahu apa-apa. Keberadaan ayunanku tak jauh dari ibuku. Aku pun merasa mulai lapar dan haus. Ibuku tak kunjung datang menghampiriku. Dan, aku pun menangis keras sehingga mengundang tetangga untuk datang. Awalnya tetangga mengetuk-ngetuk sembari mengucapkan salam. Namun, karena tidak ada jawaban juga, akhirnya mereka mendobrak. Dan, ternyata di dalam, mereka temukan ibuku telah meregang nyawa. Ia kembali kepada Allah swt.. Dan aku masih menangis kencang. Kali ini bukan karena lapar dan haus namun merasakan kesedihan yang begitu dalam. Aku baru bertemu dengannya selama sembilan hari dan ia harus pergi di saat aku bahkan belum sepenuhnya mengenalnya. 

Sepotong Senja (Bab 1)

Aku terlahir dari seorang ibu berdarah Jawa dan ayah berdarah Aceh. Mereka menikah dengan sangat sederhana dikarenakan ayah memantau ke Makassar dan keluarga di Aceh tidak mungkin bisa ke Makassar mengingat saat itu tiket pesawat sangat mahal. Aku pun berada di rahim ibuku setelah ia dua kali keguguran. Beliau mengalami lemah kandungan sehingga ketika mengandung aku, dia sangat menjaga. Semua pekerjaan rumah ayah yang mengerjakan kecuali memasak. Jika pergi ke suatu tempat terpaksa harus berjalan kaki. Karena bila naik sepeda atau sepeda motor, takut membahayakan kandungan ibu lagi mengingat jalan di asrama saat itu masih buruk.

Suatu hari ayahku yang seorang anggota KOPASSUS mendapat tugas ke luar negeri, yakni Kamboja. Ayah berangkat saat ibuku hamil besar. Sebelum pergi, ayah mengingatkan ibu agar tidak menggunakan teko listrik karena kabelnya ada yang telanjang. Rencananya saat kembali dari Kamboja, ayah hendak memperbaikinya maka teko itu tidak dibuang melainkan disimpan di atas lemari. Ayah melakukan itu agar ibu tidak bisa mengambilnya. Dengan berat hati, ibu melepas ayah pergi berjuang di medan perang. Namun, ibu tidak sendiri karena ada kakaknya yang bersuamikan TNI juga dan tinggal di asrama yang sama tapi beda lorong. Maka sejak itu ibu sendiri di rumah kecuali sesekali di siang hari pulang ke rumah kakaknya. Hal itu terus terjadi hingga aku pun lahir pada 11 Januari 1992. Aku memiliki bobot badan yang lumayan besar. Sementara ibu tergolong pendek. Maka terpaksa dilakukan operasi caesar. Konon ibuku suka minum air dingin saat mengandung aku. Katanya itu menjadi penyebab aku jadi bayi besar.