Lagi. Malam
mengintip di balik jubah hitamnya. Malam yang tampak bertuah bagi suatu
kondisi, dingin dan penuh angin. Di balik dinding rumah, badai mengamuk. Hujan
ditumpahkan dari langit begitu deras, dan untuk sekejap saja raungan senjata
tinggal jadi kenangan.
Di satu sudut
terpacak sebuah rumah. Aku tinggal di sini bersama orangtuaku. Sementara Ayah
menghabiskan waktu demi waktu dengan teman perwira-perwiranya di ruang tamu,
Aku dan Ibu mendengarkan dentuman-dentuman longsong peluru di kejauhan di dalam
rumah. Aku sungguh lebih suka mendengar kicauan burung saat ini sebab kecamuk
perang sangat mengganggu.
Itu dulu.
Beberapa waktu lalu. Tepatnya beberapa tahun yang lalu manakala aku tengah
duduk di bangku Sekolah Dasar. Saat itu untuk terakhir kali sebelum damai
berkumandang di daerah ini, aku ingat Ayah dengan langkah seribunya berjalan
tanpa menjawab pertanyaanku. Esoknya baru kutahu bahwa semalam Ayah berhasil
menangkap tujuh anggota pemberontak. Wajah Ayah siang itu tampak cerah kendati
dalam kondisi lelah. Sebenarnya aku tak begitu paham terkait bentrok yang
terjadi antara golongan Ayah dan golongan pemberontak. Aku hanya tahu bahwa
mereka selalu berselisih. Berbeda dengan saat ini. Aku di usia dewasa ini.
Semuanya terpaksa terungkap. Ya. Terungkap dengan sendirinya. Terungkap oleh
keadaan.
Dan saat ini.
Aku sungguh mengerti. Ternyata keindahan yang telah kualami selama beberapa
bulan ini harus berhenti. Mimpi telah berakhir. Dan aku terpaksa bangun,
bangkit dari pembaringan ini. Ya. Aku pun akhirnya bangun dan.. ''Khadijah,
bangun!'' Kukira ini panggilannya setelah beberapa panggilan sebelumnya. Ah,
Ibu! Maafkan aku. ''Hoamm! Ehm!'' Ibu lantas seperti biasa menarik selimutku.
Seperti biasa bila aku terlambat bangun. ''Khadijah, mengapa matamu bengkak?
Menangis lagi?'' Tuduhnya padaku. ''Hmm. Mungkin Bu. Dijah lupa. Entah menangis
dalam nyata atau mimpi. Ah. Mungkin saja mimpi.'' Ia tertegun sejenak. ''Hm.
Yasudah. Bangunlah, subuh hampir habis.'' Aku bergegas bangun meninggalkannya
yang masih termangu. Berharap ia akan bercerita tentang ini pada Ayah. Ya.
Supaya Ayah tahu bahwa aku begitu menderita karena egonya.
***
Aku melihat
awan menyebar di langit pucat Serambi Mekah. Aku terlalu lemah untuk mengakui
langit itu cerah saat ini. Mungkin karena mataku yang telah memburam. Atau
virus yang menggerogot hatiku telah menyebar hingga saraf otak. Dan akhirnya
semua menjadi kacau. Au! Hahaha! Ahhhhh! Jeritan batin. Percuma. Tak ada
labirin yang menangkap. Kecuali satu. Tuhan. ''Tidiiiitt!'' Ponselku menjerit.
''Dijah, tolong angkat teleponku!''
Kualihkan pandangan ke cermin mungil di jariku. Kudapati diriku tengah berharap
mencintai seorang lelaki yang memujaku selama bertahun-tahun. Aku bimbang.
Kenangan itu terlalu menyakitkan. Lidahnya kerap membuatku tersenyum, terkecuali
hari ini. ''Kriiiing!'' Ponsel itu
berderit lagi. Kali ini kutolak. Lalu segera mematikan benda kecil itu.
Berharap tak terusik lagi olehnya. Karena, aku selalu lemah bila sekali saja
mendengar suaranya.
***
Senyumnya
mengembang, lalu pupus oleh sekelebat suara yang membisik di telingaku. ''Aku
ingin kau jujur sekarang. Apa yang terjadi?'' Tanya Zulfan dengan sorot mata
penuh.
''Aku bosan.''
''Bohong.''
''Terserah. Aku ingin kita berpisah. Mungkin hanya takdir yang dapat menyatukan kita lagi suatu saat. Mengertilah!''
''Tidak! Tak mudah aku medapatkanmu. Jadi, tak mudah pula aku melepasmu.''
''Oya? Yasudah kalau begitu. Terserah Kamu. Aku mau pulang.''
''Silahkan.''
''Bohong.''
''Terserah. Aku ingin kita berpisah. Mungkin hanya takdir yang dapat menyatukan kita lagi suatu saat. Mengertilah!''
''Tidak! Tak mudah aku medapatkanmu. Jadi, tak mudah pula aku melepasmu.''
''Oya? Yasudah kalau begitu. Terserah Kamu. Aku mau pulang.''
''Silahkan.''
Dan senja menjadi saksi
perpisahan sepasang merpati. Sepasang merpati yang harus terpisah karena
kematian salah satunya. Mati akibat ditembak oleh seorang purnawirawan.
Ditembak tepat di hatinya. Au!
***
''Ayah ingin
kau menjauhinya. Ayah membenci pemberontak. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya.
Mengerti?'' Rangkaian kalimat yang menohok. Rangkaian kalimat yang serupa
belati menancap di ulu hati. Bengis. Di satu sisi Ayahlah yang telah memberi
segenap cintanya, hidupnya untukku. Anak satu-satunya. Namun, di sisi lain
Zulfan. Lelaki yang dengan segenap keberaniannya mencintaiku. Memilihku sebagai
penghuni hatinya. Kendati butuh banyak kendala. Kendati begitu sulit ia
meluluhkan pertahananku. Dan kini, setelah aku jatuh di singgasananya, lalu
merasa nyaman, bahkan “terlalu” hingga aku merasa berat untuk beranjak darinya,
semua justru harus luluh lantah. Semua harus berakhir dengan keputusan yang
harus kutelan sendiri. Seorang diri. Karena, meski Zulfan merasa hancur.
Setidaknya tak seberapa dibanding diriku yang harus mati-matian menjaga
perasaan kedua orang yang kucintai dengan mengorbankan perasaan sendiri.
Zulfan
memang pernah bercerita tentang satu rahasia besar hidupnya. Tentang Ayahnya
yang dahulu ialah seorang pemberontak. Sempat mengalami penahanan. Miris. Salah
satu dari perwira yang menangkap tak lain adalah Ayahku. Maka, tak heran jika
kali pertama Ayah dan Zulfan bersua menjadi kali terakhir pula. Mungkin semua
telah terencana oleh-Nya. Namun, siapa yang dapat menerima kenyataan pahit
terkait hati dalam tempo yang begitu singkat dan mendadak? Hanya waktu yang
dapat menjawab. Benarkah? Entahlah. Lihat saja nanti. Aku hanya ingin menangis
tiap malam. Dan berharap Zulfan berhenti mempertanyakan. Karena, selamanya aku
tak mampu menjawab.
***
Pagi
kembali. Kulihat Ayah begitu cekatan dari biasa. Serupa beberapa tahun silam,
Ayah dengan langkah seribunya berjalan tanpa menjawab pertanyaanku. Aku tahu ia
telah setahun menjadi purnawirawan. Aku tahu pula bahwa hal itu hanya sedikit
mengurangi kelincahannya. ''Ayah mau pergi kemana Bu?'' Bisikku. Ibu hanya
menggeleng. Aku mendesah. Dan petangnya kutangkap aura lelah di wajahnya. Ah,
tidak. Aku tak tahu bagaimana cara melukiskan kondisinya. Mungkin lebih dari
itu. Namun, aku dan Ibu tak berani bertanya. Sepatah pun.
''Tidiiiiit'' Satu sms masuk. Segera kubaca.
Berharap itu Zulfan. Maklum. Sesekali rindu ini kerap mendera, tapi gengsi
untuk mengadu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Benarlah ini SMS darinya. Tapi,
tunggu! SMS-nya membuyarkan gejolak hati.
''Assalamu'alaikum. Aku sudah tahu semuanya. Pagi tadi aku menemui
ayahmu. Ah! Mengapa kau tak katakan langsung padaku. Ini sungguh lebih
mengecewakan. Tapi, yasudahlah! Aku takkan berhenti. Karena, jodoh bukan di
tanganku, Kau, atau ayahmu. Tapi, di tangan Tuhan. Mungkin ayahmu membenci
pemberontak. Tapi, ayahku bukan pemberontak Tuhan. Ia hanya membenci
penghianat. Bagiku ia pahlawan. Ayahmu terlalu skeptis melihat semua itu. Tapi,
aku maklum. Jangan takut. Aku masih dan akan selalu mencintaimu, sayang.
Assalamu'alaikum.''
Jilbabku tidak terlalu tebal dan
panjang, tapi terasa berat seketika. Perutku mual. Aku ingin pingsan, namun
kenyataannya tidak. Dalam pada itu aku hanya dapat terduduk lemas. Masih tak
percaya terhadap kenyataan yang baru saja terjadi.
***
Senja kala.
Samar-samar kucium aroma kopi. Kopi. Ah, pada akhirnya aku dan Zulfan dapat
saling bicara namun tanpa kata. Kami tetap dapat merindu tanpa batas waktu.
Dan, itu terus terjadi. Hingga pada suatu petang. ''Dorrrr!'' Sebuah tembakan terdengar keras dari arah yang tak sempat
kutangkap. Kegelapan seketika mengikutiku seperti sebuah bayangan. Sebuah bunyi
terdengar lagi. Ibu berteriak. Aku melompat dari tempat dudukku dan berlari
menuju sumber suara. Rasanya air mataku tak mau mampat ketika aku terisak dan
memeluk Ayah. Kudekap tubuhnya yang ringkih. Dengan suara serak aku menuntunnya
mengucap tahlil. ''Laa ilaa ha illallaaah.'' Ia menutup mata di pangkuanku.
Saat itu Ibu terlambat menyusulku.
DeTaK, 2013
DeTaK, 2013
mantap... gurihh...
BalasHapuskira-kira ada lanjutannya ?
main juga disini :
ezapedia.wordpress.com
maaf baru balas ya hehe
Hapusbaru dibaca nih
lanjutannya dilanjutin sendiri aja ya kak hehe