Rabu, 26 November 2014

Aku Jatuh


Aku Jatuh

Kicauan burung menyertai deru suara sepeda motor yang tengah dipanaskan. Awan mulai terlihat jelas bentuknya. Seperti biasa, rutinitas pagi yang monoton, namun tidak membosankan. Ayah masih dengan usahanya mengeluarkan angin dari tubuh, suaranya tak jarang membuatku kehilangan selera makan, tapi… lambat laun itu menjadi akrab di telingaku. Entah bagi tetangga sebelah. Sejauh ini belum ada yang mengeluh, dan semoga saja tak akan pernah ada. Karena, kalau sudah begitu, mau tak mau dinding kamar mandi wajib dipasang kedap suara.
Sementara Mamak, begitu setia melayaniku bak putri raja setiap pagi. Menyediakan makanan plus susu kesukaanku. Padahal, kini aku telah duduk di bangku SMA. Tapi, ya begitulah Mamak. Begitulah aku. Mamak hanya punya anak satu, yakni aku. Sedang aku, hanya punya Mamak satu, dia. So? Ya begitulah. Pikir saja sendiri.
Usai makan, aku bersiap pergi ke sekolah. “Pergi ya Mak, Yah!” Kuciumi satu-satu sepasang punggung tangan mereka. Ya. Dengan sepeda Polygon kesayangan, kukayuh sepeda dengan penuh semangat, penuh energi, dan senyuman merekah tentunya. Mengapa begitu? Apakah karena aku terlahir sebagai gadis yang ceria, supel, dan selalu bersemangat? Ah, bisa jadi. Tapi, bukan itu alasan sebenarnya. “Wah, sudah jam setengah lapan! Nooo!” Kujagak sepeda yang kuncinya memang sudah rusak gara-gara anak tetangga yang terlalu kreatif di halaman warung Nek Mah. Rumah Nek Mah memang terletak di pinggir jalan, alias di ujung lorong, So? Ya, karena kerendahan hatinya, dia rela halamannya dijadikan tempat parkir bebas biaya untukku. Sebelumnya, aku kerap menitip sepeda pada temanku yang rumahnya di pinggir jalan pula, namun, sekali lagi, ternyata anak-anak tetangga temanku lebih kreatif dari anak tetanggaku. Beruntung, sepedaku belum sempat bertambah cacatnya. Baru colek-colek sedikit untuk tahap pengamatan. Begitu pikirku.
Alhamdulillah. Setelah lima menit menunggu, akhirnya nongol juga sudek pahlawan kesianganku. “Jleb!” Kuintip ke dalam, nyaris penuh. “Naik aja, dek, masih muat, kok!” Ujar kenek. Tak menjawab, aku menurut saja perkataannya. Benar saja, tubuhku yang ramping dan toleransi penumpang lain membuatku mampu menambah deretan penumpang lainnya. Ah, lebih tepatnya, menyempil.
Laju sudek terasa lebih lambat dari biasanya. Aku mengeluh dalam hati sepanjang perjalanan. Mengeluh atas kebiasaan burukku yang selalu terlambat ke sekolah. Dan, Ya. Mobil akhirnya berhenti tepat di seberang jalan sekolahanku. “Jleb!” Mataku terbelalak selepas sudek meninggalkanku. Mataku seakan mau lompat dari tempatnya. Pintu gerbang nyaris ditutup. Dan itu artinya... “Cepat-cepat!” Pak Supriyadi tampak bersemangat menyuruh kami berbaris. “Udah rapi? “ Suara Buk Srik menghentak adrenalinku. “Siaapp, Buuk!” Jawab PSST (pasukan siswa sabe telat)  serentak.  Panjang kali lebar Buk Srik memberi petuah. Jujur, aku amat malu. Ya, apa boleh buat? “Sekarang, kalian mau masuk?” Tanya guru fenomenal di sekolahku itu.
“Mauuu!”
“Sekarang kutip sampah sampai bersih satu lapangan ini. Kemudian kumpul lagi di sini. Jangan kembali sebelum lapangan benar-benar bersih!”
“Siapp, Bookk!” PSST segera berpencar, memburu sampah berupa daun kering, plastik, bekas botol air mineral, dan lain-lain. Sekitar lima menit kami muter-muter keliling lapangan. Ada yang sungguh-sungguh mengutip sampah, dan tidak sedikit pula yang wet-wet belaka. Aku tentu termasuk golongan pertama.
Sampah masih di tangan masing-masing. Biasanya langsung dimasukkan ke tong sampah, lantas bebas. Namun, hari ini sepertinya berbeda. “Sekarang, kalian jongkok semua, cepat!” Suara Bu Srik sekali lagi menghentak adrenalinku. Terdengar keluhan-keluhan keluar dari mulut PSST lain. Dalam waktu sekitar lima menit kami berhasil melintasi jalan menuju koridor dalam kondisi berjongkok. Setelah sampai, kami semua seperti tahanan yang baru terlepas dari jeratan hukum. Sampah segera kubuang ke tong sampah yang telah diletakkan di ujung jalan. Kami segera kembali ke pos semula untuk mengambil tas, lantas menyembur ke kelas masing-masing.
“Tok, tok, tok, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Kutundukkan kepalaku ke lantai kelas. Lantas berjalan dengan cepat ke bangku. Aduh! Sungguh memalukan! Kalau sudah begini, lagi-lagi aku merasa bersalah. Bersalah pada diri sendiri. Pada orang tua. Dan, HIPISA (Himpunan Pelajar Islam SMAN 1 Langsa).

***
Awal aku menyandang status sebagai siswa SMAN 1 Langsa ini, saat aku dan teman-teman menjalani masa orientasi sekolah (MOS), lebih tepatnya hari ketiga MOS, masuklah sekelompok kakak leting ke kelasku. Beberapa di antaranya adalah siswi berjilbab lebar dan besar, sebagian lain siswa memakai rompi krem. Sebelum ini, telah masuk pula beberapa delegasi organisasi sekolah lainnya yang melakukan promosi. Namun, jujur, ini merupakan pemandangan baru bagiku. Tak begitu serius aku mendengar ucapan mereka. Aku justru lebih tertarik  melihat penampilan mereka satu-persatu. Entah apa yang kupikir saat itu. Hingga aku tak tahu apapun yang mereka katakan dari awal hingga akhir.
Sedih. Kesal. Itu yang kurasakan saat itu. Betapa tidak? Sebelum megikuti tes masuk sekolah ini pun aku telah bermimpi untuk bergabung di Pramuka atau Sispala. Namun, kenyataan berkata lain. Ayah tidak memberi izin. OSIS? Aku tak cukup berani menanggung resiko harus ketinggalan pelajaran nantinya. PMR? Terlambat. Aku terlalu percaya diri akan mendapat izin masuk Pramuka atau Sispala. Nyatanya PMR menjadi pilihan yang terakhir dan naas, habis formulir. Esoknya, Fika, salah satu teman baruku menawarkan aku untuk masuk sebuah organisasi. “Masuk HIPISA aja, Cut! HIPISA itu bagus, loh! Kalau mau, Cut bisa ambil formulir sama Fika. Abang sepupu Fika anak HIPISA juga soalnya!” Aku tersenyum hambar menyambut tawarannya itu. Merasa tak bergairah.
Siang bertandang ditandai azan zuhur. Aku dan teman-teman sekelas meluncur ke musala. Menghadap Khalik.  Usai meletakkan mukena di dalam, aku melesat ke tempat wudu. Melintasi halaman musala, mataku menangkap dua orang kakak leting memakai kerudung besar dan lebar. Ada tumpukan kertas di atas meja. Salah satu dari mereka menulis sesuatu di sebuah buku panjang. Ada seorang siswa baru juga di depannya. Kelihatan dari bajunya yang masih tampak perawan. Aku tebak ia tengah mendaftar. “Bagah, hai! Bek taheu!” Fitri, teman sebangkuku menegur.
Segar dan sejuk melingkupi jiwa. Seharian letih memburu tanda tangan senior yang tidak gratis itu membuat seragam baru yang kami kenakan basah oleh peluh. Belum lagi gerah dan dahaga. Oh! Tersiram air wudu bikin adem! Gerakan salat melenturkan saraf otot dan otak yang tegang.  Belum lagi selesai kulipat mukena, terlihat kembali meja panjang di luar yang sempat mencuri perhatian tadi. “Fit, ikutan HIPISA, yuk!”
“Apa? Serius Kamu? Emang Ayahmu mengizinkan?”
“Ah, gampang itu! Kalau yang beginian InsyaAllah Ayah kasih, dong! Kan, belajar agama! Kurang banget ilmu agamaku, Fit! Ayoklah!” Yang kupikir saat itu adalah bisa mengemban organisasi, apapun itu.  Daripada gak sama sekali. HIPISA. Yang kutahu adalah pesantrennya SMAN 1 Langsa. Jadi, aku bisa belajar ngaji, tajwid, agama, fiqih, dan  pengetahuan agama lainnya di sini. Aku harap pengetahuan agamaku bisa bertambah nantinya. Itu saja.

***
Hari ini jumat, hari yang suci. Hari yang bersejarah pula bagiku. Untuk pertama kalinya aku mendengar istilah ROHIS dua hari yang lalu dari SMS. Dan, hari ini aku sungguh bersemangat ingin mengungkap tabir penasaranku-apa itu ROHIS?  Sepertinya menarik. Memasuki musala yang teduh ini membuat aku merasa nyaman. Memang letak musala ini sangat strategis. Banyak siswa-siswi maupun guru serta staf sekolah yang kerap menjadikan musala ini sebagai tempat berteduh. Begitu yang kudengar dari teman-teman. Entah mereka memperoleh informasi tersebut darimana.  Kulihat kanan dan kiri. Semuanya tampak ceria. Hawa keakraban begitu kental terasa. Dan kian bertambah hangat saat seorang siswi menegurku. Dia yang duduk tak jauh dari tempatku mendekat dan menyapa dengan begitu hangat. Nanda Marlina namanya. Wah, wajahnya bersinar, tutur bahasanya lembut dan santun. Pakaian dan kerudungnya rapi dan sopan. Baru kali ini kutemui wajah seteduh itu. Senyum dibalik celotehnya begitu memikat. Nanda Marlina, bagiku ia adalah replika HIPISA. Tak perlu kucari tahu lebih banyak, ia telah cukup mewakili dan membuatku jatuh. Jatuh hati. Untuk pertama kali.
Aku memang bukannya mantan preman yang suka memalak pedagang di pasar. Atau bekas kupu-kupu yang suka terbang hinggap di hidung belang pada malam hari. Tapi, aku juga punya banyak dosa. Aku tak jarang membuat Mamak kerepotan sendiri. Aku juga sering kesal bila Ayah menyuruhku ini dan itu. Kerap pula aku membuat mereka kecewa dengan ucapan dan tingkah lakuku saat kemauanku tak dituruti. Mulutku yang masih suka mengeluarkan ucapan tak sepantasnya kepada sesama. Gosip, atau sekedar menggoda yang tanpa kusadari membekas di hati. Aku juga punya kebiasaan buruk yang sulit diobati, suka menjahili teman. Entah mengapa. Ada kepuasaan tersendiri setelah menuntaskan hasrat tersebut. Melihat ekspresi kesal mereka, membuat aku tersenyum bahkan tertawa sangat puas. Dan, salat? Aku pernah menangis sesenggukan karena ketahuan bohong sama Ayah. Aku pura-pura wudu, lantas masuk kamar, mengunci pintu dan tidur! Entah mengapa naluri orang tua begitu kuat. Hingga malam itu aku naas. Bakda maghrib, Ayah mengetok pintu dan menuntut kejujuranku. Nyaris aku harus bersumpah di depan Al-Quran bila tak jujur saat itu. Oh My Allah! Intinya aku ini manusia. Pendosa yang ingin menjadi lebih baik. Dan perlahan, secercah cahaya di langit Langsa itu terlihat.
***
Ini hari terakhir orientasi HIPISA. Banyak sudah mutiara ilmu yang kukutip di taman pendidikan agama ini. Taman pendidikan agama? Ya. Aku lebih senang menyebut seperti itu. Bagiku HIPISA serupa dengan taman yang indah, senantiasa menuai ilmu, dan islami banget. Saat hari pertama, temanku, Amoy sakit tiba-tiba, tak kusangka tanggapan senior HIPISA begitu mengusik kalbuku. Kak Husna begitu cekatan dan penuh perhatian memapahnya ke parkiran lantas mengantarnya ke rumah. Mungkin kedengarannya hanya bentuk perhatian biasa. Namun, bagiku itu hakikat persaudaraan sejati, atau yang mereka sebut-sebut sebagai ukhuwah. Ya. Sekali lagi aku jatuh. Jatuh hati.
Hari berlalu. Minggu berganti. Aku yang tengah senang mengoleksi jeans dan lee, serta baju-baju kemeja ngepas beragam model beralih profesi menjadi pengemis. Pengemis yang minta-minta dibelikan rok sama Mamak. Terkadang sayang melihat jeans dan lee yang masih baru itu. Tapi, aku harus bisa melupakannya. Akan ada yang lebih baik menanti. Rok dan gamis. Aku tersenyum menatap jilbab komputer yang baru kubeli. Untuk saat ini sudah cukup. Besok insyaAllah tambah setengah senti lagi. Ujarku polos dalam hati.
***
“Cuuttt, nyapu halamannya, dong! Udah kotor tuh, nanti kesorean!” Ayah berteriak di ruang keluarga. “Iya, Ayah! Bentar!” Bismillah…kurapikan jilbabku. Kutatap rok dan kaos kebesaran baru yang melekat di tubuhku. “Cut, kamu harus yakin…ini yang kedua kalinya setelah pernah gagal. Tekadmu sudah bulat!” Aku keluar dengan wajah disetel sebiasa mungkin. Sementara hatiku dag dig dug berdoa agar tak ada komentar yang keluar dari mulut Ayah atau Mamak. Alhamdulillah, untuk beberapa menit hening, namun tidak pada menit berikutnya. “Nyapu aja pake dandan segalaa…Cut…Cut!” Mamak bersuara dari dalam. “Ohh, No! Bukan dandan, Mamak!” But, okelah! Apapun itu. Aku tak menjawab. Kulanjutkan pekerjaanku. Seiring tekadku yang semakin bulat. Telingaku sudah cukup sering mendengar tausiah tentang kewajiban menutup aurat di ROHIS. Sepasang mata ini nyaris setiap hari menatap teman akhwat HIPISA yang satu persatu menutup auratnya. Dan, hatiku, sudah lelah untuk selalu berkata ”Aku akan seperti itu, suatu saat nanti”. Dan mulutku telah berbuih untuk terus bermunajat kepada Allah, namun kewajiban yang sangat besar justru kuabaikan, lebih tepatnya kutunda selalu. Aku malu.

***
“Jangan mendekati zina!”
Kak Yusridha dengan ditemani Kak Yulvianda menegur Irham dengan tegas. Seorang anggota HIPISA baru. Ia baru-baru ini memang sering memberi sinyal kepadaku. Dan ternyata sinyal itu terlalu kuat sehingga aku tak mampu menanggung sendiri. Aku mengungkapkannya pada kedua seniorku itu. Hingga terjadilah  peritiwa peneguran hari ini. Aku bersyukur untuk itu. Karena, jika aku tak mengungkapnya, entah apa yang terjadi selanjutnya antara aku dan lelaki yang baru dilantik sebagai ketua Patroli Keamanan Sekolah itu. Syukur, dia bisa menerima dengan sikap dewasa. Tak lama setelah kejadian itu kami disidang dan ia mengundurkan diri. Aku tak tahu hakikat apa yang kurasakan, hanya sedikit merasa kehilangan, namun lebih banyak merasa menemukan. Menemukan saudara. Kukira saudara sendiri belum tentu mau begitu perhatian tentang keselamatan masa depanku, lah ini? Terima kasih, untuk Kak Yus dan Kak Yul, replika HIPISA selanjutnya yang membuatku jatuh. Jatuh hati pada HIPISA. “Cut! Icuttttttttt!” Aku terkesiap. “Absenn, absen…” Ujar Manda. “Ehmm…hadirr Buk!” Sesaat kurasakan angin lembut membelai sukma hingga membuat nafasku terasa segar kembali. Allah…, aku terlanjur jatuh…di singgasana-Mu.




4 komentar:

  1. waaaah kak icuuuut. sukaaa sama tulisannyaaaaa. ngerasa nostalgia sama HIPISA :'(

    BalasHapus
  2. hehe alhamdulillah dek... iya :) kk jg kangen nih ma Hipisa :)

    BalasHapus