Aku Jatuh
Kicauan
burung menyertai deru suara sepeda motor yang tengah dipanaskan. Awan mulai
terlihat jelas bentuknya. Seperti biasa, rutinitas pagi yang monoton, namun
tidak membosankan. Ayah masih dengan usahanya mengeluarkan angin dari tubuh, suaranya
tak jarang membuatku kehilangan selera makan, tapi… lambat laun itu menjadi
akrab di telingaku. Entah bagi tetangga sebelah. Sejauh ini belum ada yang
mengeluh, dan semoga saja tak akan pernah ada. Karena, kalau sudah begitu, mau
tak mau dinding kamar mandi wajib dipasang kedap suara.
Sementara
Mamak, begitu setia melayaniku bak putri raja setiap pagi. Menyediakan makanan plus susu kesukaanku. Padahal, kini aku
telah duduk di bangku SMA. Tapi, ya begitulah Mamak. Begitulah aku. Mamak hanya
punya anak satu, yakni aku. Sedang aku, hanya punya Mamak satu, dia. So? Ya begitulah.
Pikir saja sendiri.
Usai
makan, aku bersiap pergi ke sekolah. “Pergi ya Mak, Yah!” Kuciumi satu-satu
sepasang punggung tangan mereka. Ya. Dengan sepeda Polygon kesayangan, kukayuh
sepeda dengan penuh semangat, penuh energi, dan senyuman merekah tentunya.
Mengapa begitu? Apakah karena aku terlahir sebagai gadis yang ceria, supel, dan
selalu bersemangat? Ah, bisa jadi. Tapi, bukan itu alasan sebenarnya. “Wah,
sudah jam setengah lapan! Nooo!”
Kujagak sepeda yang kuncinya memang sudah rusak gara-gara anak tetangga yang
terlalu kreatif di halaman warung Nek Mah. Rumah Nek Mah memang terletak di
pinggir jalan, alias di ujung lorong, So?
Ya, karena kerendahan hatinya, dia rela halamannya dijadikan tempat parkir
bebas biaya untukku. Sebelumnya, aku kerap menitip sepeda pada temanku yang
rumahnya di pinggir jalan pula, namun, sekali lagi, ternyata anak-anak tetangga
temanku lebih kreatif dari anak tetanggaku. Beruntung, sepedaku belum sempat
bertambah cacatnya. Baru colek-colek sedikit untuk tahap pengamatan. Begitu
pikirku.
Alhamdulillah.
Setelah lima menit menunggu, akhirnya nongol
juga sudek pahlawan kesianganku. “Jleb!” Kuintip ke dalam, nyaris penuh. “Naik
aja, dek, masih muat, kok!” Ujar kenek.
Tak menjawab, aku menurut saja perkataannya. Benar saja, tubuhku yang ramping
dan toleransi penumpang lain membuatku mampu menambah deretan penumpang
lainnya. Ah, lebih tepatnya, menyempil.
Laju
sudek terasa lebih lambat dari
biasanya. Aku mengeluh dalam hati sepanjang perjalanan. Mengeluh atas kebiasaan
burukku yang selalu terlambat ke sekolah. Dan, Ya. Mobil akhirnya berhenti
tepat di seberang jalan sekolahanku. “Jleb!”
Mataku terbelalak selepas sudek meninggalkanku. Mataku seakan mau lompat dari
tempatnya. Pintu gerbang nyaris ditutup. Dan itu artinya... “Cepat-cepat!” Pak
Supriyadi tampak bersemangat menyuruh kami berbaris. “Udah rapi? “ Suara Buk
Srik menghentak adrenalinku. “Siaapp, Buuk!” Jawab PSST (pasukan siswa sabe telat) serentak.
Panjang kali lebar Buk Srik memberi petuah. Jujur, aku amat malu. Ya,
apa boleh buat? “Sekarang, kalian mau masuk?” Tanya guru fenomenal di sekolahku
itu.
“Mauuu!”
“Sekarang kutip sampah sampai bersih satu lapangan ini. Kemudian kumpul lagi di sini. Jangan kembali sebelum lapangan benar-benar bersih!”
“Sekarang kutip sampah sampai bersih satu lapangan ini. Kemudian kumpul lagi di sini. Jangan kembali sebelum lapangan benar-benar bersih!”
“Siapp,
Bookk!” PSST segera berpencar, memburu sampah berupa daun kering, plastik,
bekas botol air mineral, dan lain-lain. Sekitar lima menit kami muter-muter keliling lapangan. Ada yang
sungguh-sungguh mengutip sampah, dan tidak sedikit pula yang wet-wet belaka. Aku tentu termasuk
golongan pertama.
Sampah
masih di tangan masing-masing. Biasanya langsung dimasukkan ke tong sampah,
lantas bebas. Namun, hari ini sepertinya berbeda. “Sekarang, kalian jongkok
semua, cepat!” Suara Bu Srik sekali lagi menghentak adrenalinku. Terdengar
keluhan-keluhan keluar dari mulut PSST lain. Dalam waktu sekitar lima menit
kami berhasil melintasi jalan menuju koridor dalam kondisi berjongkok. Setelah
sampai, kami semua seperti tahanan yang baru terlepas dari jeratan hukum.
Sampah segera kubuang ke tong sampah yang telah diletakkan di ujung jalan. Kami
segera kembali ke pos semula untuk mengambil tas, lantas menyembur ke kelas masing-masing.
“Tok,
tok, tok, Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”
Kutundukkan kepalaku ke lantai kelas. Lantas berjalan dengan cepat ke bangku. Aduh! Sungguh memalukan! Kalau sudah begini, lagi-lagi aku merasa bersalah. Bersalah pada diri sendiri. Pada orang tua. Dan, HIPISA (Himpunan Pelajar Islam SMAN 1 Langsa).
Kutundukkan kepalaku ke lantai kelas. Lantas berjalan dengan cepat ke bangku. Aduh! Sungguh memalukan! Kalau sudah begini, lagi-lagi aku merasa bersalah. Bersalah pada diri sendiri. Pada orang tua. Dan, HIPISA (Himpunan Pelajar Islam SMAN 1 Langsa).
***
Awal
aku menyandang status sebagai siswa SMAN 1 Langsa ini, saat aku dan teman-teman
menjalani masa orientasi sekolah (MOS), lebih tepatnya hari ketiga MOS,
masuklah sekelompok kakak leting ke kelasku. Beberapa di antaranya adalah siswi
berjilbab lebar dan besar, sebagian lain siswa memakai rompi krem. Sebelum ini,
telah masuk pula beberapa delegasi organisasi sekolah lainnya yang melakukan
promosi. Namun, jujur, ini merupakan pemandangan baru bagiku. Tak begitu serius
aku mendengar ucapan mereka. Aku justru lebih tertarik melihat penampilan mereka satu-persatu. Entah
apa yang kupikir saat itu. Hingga aku tak tahu apapun yang mereka katakan dari
awal hingga akhir.
Sedih.
Kesal. Itu yang kurasakan saat itu. Betapa tidak? Sebelum megikuti tes masuk
sekolah ini pun aku telah bermimpi untuk bergabung di Pramuka atau Sispala.
Namun, kenyataan berkata lain. Ayah tidak memberi izin. OSIS? Aku tak cukup
berani menanggung resiko harus ketinggalan pelajaran nantinya. PMR? Terlambat.
Aku terlalu percaya diri akan mendapat izin masuk Pramuka atau Sispala.
Nyatanya PMR menjadi pilihan yang terakhir dan naas, habis formulir. Esoknya,
Fika, salah satu teman baruku menawarkan aku untuk masuk sebuah organisasi. “Masuk
HIPISA aja, Cut! HIPISA itu bagus, loh! Kalau mau, Cut bisa ambil formulir sama
Fika. Abang sepupu Fika anak HIPISA juga soalnya!” Aku tersenyum hambar menyambut
tawarannya itu. Merasa tak bergairah.
Siang
bertandang ditandai azan zuhur. Aku dan teman-teman sekelas meluncur ke musala.
Menghadap Khalik. Usai meletakkan mukena
di dalam, aku melesat ke tempat wudu. Melintasi halaman musala, mataku
menangkap dua orang kakak leting memakai kerudung besar dan lebar. Ada tumpukan
kertas di atas meja. Salah satu dari mereka menulis sesuatu di sebuah buku
panjang. Ada seorang siswa baru juga di depannya. Kelihatan dari bajunya yang
masih tampak perawan. Aku tebak ia tengah mendaftar. “Bagah, hai! Bek taheu!” Fitri, teman sebangkuku menegur.
Segar
dan sejuk melingkupi jiwa. Seharian letih memburu tanda tangan senior yang
tidak gratis itu membuat seragam baru yang kami kenakan basah oleh peluh. Belum
lagi gerah dan dahaga. Oh! Tersiram air wudu bikin adem! Gerakan salat melenturkan saraf otot dan otak yang
tegang. Belum lagi selesai kulipat mukena,
terlihat kembali meja panjang di luar yang sempat mencuri perhatian tadi. “Fit,
ikutan HIPISA, yuk!”
“Apa?
Serius Kamu? Emang Ayahmu mengizinkan?”
“Ah,
gampang itu! Kalau yang beginian InsyaAllah Ayah kasih, dong! Kan, belajar
agama! Kurang banget ilmu agamaku, Fit! Ayoklah!” Yang kupikir saat itu adalah
bisa mengemban organisasi, apapun itu.
Daripada gak sama sekali.
HIPISA. Yang kutahu adalah pesantrennya SMAN 1 Langsa. Jadi, aku bisa belajar
ngaji, tajwid, agama, fiqih, dan
pengetahuan agama lainnya di sini. Aku harap pengetahuan agamaku bisa
bertambah nantinya. Itu saja.
***
Hari
ini jumat, hari yang suci. Hari yang bersejarah pula bagiku. Untuk pertama
kalinya aku mendengar istilah ROHIS dua hari yang lalu dari SMS. Dan, hari ini
aku sungguh bersemangat ingin mengungkap tabir penasaranku-apa itu ROHIS? Sepertinya menarik. Memasuki musala yang teduh
ini membuat aku merasa nyaman. Memang letak musala ini sangat strategis. Banyak
siswa-siswi maupun guru serta staf sekolah yang kerap menjadikan musala ini
sebagai tempat berteduh. Begitu yang kudengar dari teman-teman. Entah mereka
memperoleh informasi tersebut darimana. Kulihat kanan dan kiri. Semuanya tampak ceria.
Hawa keakraban begitu kental terasa. Dan kian bertambah hangat saat seorang
siswi menegurku. Dia yang duduk tak jauh dari tempatku mendekat dan menyapa dengan
begitu hangat. Nanda Marlina namanya. Wah, wajahnya bersinar, tutur bahasanya
lembut dan santun. Pakaian dan kerudungnya rapi dan sopan. Baru kali ini
kutemui wajah seteduh itu. Senyum dibalik celotehnya begitu memikat. Nanda
Marlina, bagiku ia adalah replika HIPISA. Tak perlu kucari tahu lebih banyak,
ia telah cukup mewakili dan membuatku jatuh. Jatuh hati. Untuk pertama kali.
Aku
memang bukannya mantan preman yang suka memalak pedagang di pasar. Atau bekas
kupu-kupu yang suka terbang hinggap di hidung belang pada malam hari. Tapi, aku
juga punya banyak dosa. Aku tak jarang membuat Mamak kerepotan sendiri. Aku
juga sering kesal bila Ayah menyuruhku ini dan itu. Kerap pula aku membuat
mereka kecewa dengan ucapan dan tingkah lakuku saat kemauanku tak dituruti. Mulutku
yang masih suka mengeluarkan ucapan tak sepantasnya kepada sesama. Gosip, atau
sekedar menggoda yang tanpa kusadari membekas di hati. Aku juga punya kebiasaan
buruk yang sulit diobati, suka menjahili teman. Entah mengapa. Ada kepuasaan
tersendiri setelah menuntaskan hasrat tersebut. Melihat ekspresi kesal mereka,
membuat aku tersenyum bahkan tertawa sangat puas. Dan, salat? Aku pernah menangis
sesenggukan karena ketahuan bohong sama Ayah. Aku pura-pura wudu, lantas masuk
kamar, mengunci pintu dan tidur! Entah mengapa naluri orang tua begitu kuat.
Hingga malam itu aku naas. Bakda maghrib, Ayah mengetok pintu dan menuntut
kejujuranku. Nyaris aku harus bersumpah di depan Al-Quran bila tak jujur saat
itu. Oh My Allah! Intinya aku ini
manusia. Pendosa yang ingin menjadi lebih baik. Dan perlahan, secercah cahaya
di langit Langsa itu terlihat.
***
Ini
hari terakhir orientasi HIPISA. Banyak sudah mutiara ilmu yang kukutip di taman
pendidikan agama ini. Taman pendidikan agama? Ya. Aku lebih senang menyebut
seperti itu. Bagiku HIPISA serupa dengan taman yang indah, senantiasa menuai
ilmu, dan islami banget. Saat hari
pertama, temanku, Amoy sakit tiba-tiba, tak kusangka tanggapan senior HIPISA
begitu mengusik kalbuku. Kak Husna begitu cekatan dan penuh perhatian
memapahnya ke parkiran lantas mengantarnya ke rumah. Mungkin kedengarannya
hanya bentuk perhatian biasa. Namun, bagiku itu hakikat persaudaraan sejati,
atau yang mereka sebut-sebut sebagai ukhuwah.
Ya. Sekali lagi aku jatuh. Jatuh hati.
Hari
berlalu. Minggu berganti. Aku yang tengah senang mengoleksi jeans dan lee, serta baju-baju kemeja ngepas beragam model beralih profesi menjadi
pengemis. Pengemis yang minta-minta dibelikan rok sama Mamak. Terkadang sayang
melihat jeans dan lee yang masih baru itu. Tapi, aku harus
bisa melupakannya. Akan ada yang lebih baik menanti. Rok dan gamis. Aku
tersenyum menatap jilbab komputer yang baru kubeli. Untuk saat ini sudah cukup.
Besok insyaAllah tambah setengah senti lagi. Ujarku polos dalam hati.
***
“Cuuttt,
nyapu halamannya, dong! Udah kotor tuh, nanti kesorean!” Ayah berteriak di
ruang keluarga. “Iya, Ayah! Bentar!” Bismillah…kurapikan jilbabku. Kutatap rok
dan kaos kebesaran baru yang melekat di tubuhku. “Cut, kamu harus yakin…ini yang kedua kalinya setelah pernah gagal.
Tekadmu sudah bulat!” Aku keluar dengan wajah disetel sebiasa mungkin. Sementara hatiku dag dig dug berdoa agar
tak ada komentar yang keluar dari mulut Ayah atau Mamak. Alhamdulillah, untuk
beberapa menit hening, namun tidak pada menit berikutnya. “Nyapu aja pake
dandan segalaa…Cut…Cut!” Mamak bersuara dari dalam. “Ohh, No! Bukan dandan, Mamak!” But, okelah! Apapun itu. Aku tak
menjawab. Kulanjutkan pekerjaanku. Seiring tekadku yang semakin bulat.
Telingaku sudah cukup sering mendengar tausiah tentang kewajiban menutup aurat
di ROHIS. Sepasang mata ini nyaris setiap hari menatap teman akhwat HIPISA yang
satu persatu menutup auratnya. Dan, hatiku, sudah lelah untuk selalu berkata ”Aku
akan seperti itu, suatu saat nanti”. Dan mulutku telah berbuih untuk terus
bermunajat kepada Allah, namun kewajiban yang sangat besar justru kuabaikan,
lebih tepatnya kutunda selalu. Aku malu.
***
“Jangan
mendekati zina!”
Kak
Yusridha dengan ditemani Kak Yulvianda menegur Irham dengan tegas. Seorang
anggota HIPISA baru. Ia baru-baru ini memang sering memberi sinyal kepadaku.
Dan ternyata sinyal itu terlalu kuat sehingga aku tak mampu menanggung sendiri.
Aku mengungkapkannya pada kedua seniorku itu. Hingga terjadilah peritiwa peneguran hari ini. Aku bersyukur
untuk itu. Karena, jika aku tak mengungkapnya, entah apa yang terjadi
selanjutnya antara aku dan lelaki yang baru dilantik sebagai ketua Patroli
Keamanan Sekolah itu. Syukur, dia bisa menerima dengan sikap dewasa. Tak lama
setelah kejadian itu kami disidang dan ia mengundurkan diri. Aku tak tahu hakikat
apa yang kurasakan, hanya sedikit merasa kehilangan, namun lebih banyak merasa
menemukan. Menemukan saudara. Kukira saudara sendiri belum tentu mau begitu
perhatian tentang keselamatan masa depanku, lah ini? Terima kasih, untuk Kak
Yus dan Kak Yul, replika HIPISA selanjutnya yang membuatku jatuh. Jatuh hati
pada HIPISA. “Cut! Icuttttttttt!” Aku terkesiap. “Absenn, absen…” Ujar Manda.
“Ehmm…hadirr Buk!” Sesaat kurasakan angin lembut membelai sukma hingga membuat
nafasku terasa segar kembali. Allah…, aku terlanjur jatuh…di singgasana-Mu.
mantap kak (y)
BalasHapusterima kasih :) maaf baru dibalas :)
Hapuswaaaah kak icuuuut. sukaaa sama tulisannyaaaaa. ngerasa nostalgia sama HIPISA :'(
BalasHapushehe alhamdulillah dek... iya :) kk jg kangen nih ma Hipisa :)
BalasHapus