Senin, 09 Februari 2015

Mereka Bilang Aku Maco


Namaku Cut Atthahirah. Usiaku menginjak 23 tahun. Dalam hitungan hari, aku akan melangsungkan akad wisuda. Alhamdulillah. Banyak kenikmatan yang telah Allah limpahkan. Namun, sebagai manusia hina lagi dina, kuakui bahwa masih sering terbesit keluh kesah di hati serta sikap dan perkataan yang mencerminkan ketidaksyukuranku. Mungkin, judul dari tulisan ini salah satunya.

Beberapa hari yang lalu, sebuah organisasi kepenulisan ternama yang berpusat di Indonesia dan memiliki cabang hampir di seluruh negara di dunia mengadakan sebuah acara besar. Workshop Nasional dan Launching Buku. Di sana, tamu yang hadir cukup banyak dan variatif, mulai dari siswa, santri, mahasiswa hingga orang tua. Singkat kisah, waktu istirahat tiba. Aku, sebagai salah satu panita beserta yang lainnya menunaikan salat.

Saat di kamar mandi, aku bertemu tiga santriwatiku yang baru selesai berwudu. Di sela kesibukan mereka memakai kerudung, manset, bros hingga kaus kaki, terselip kalimat, “Kak Cut maco, ya! Tapi keren! Suka suka!” Sontak aku kaget. Seingatku, kami baru empat kali bertatap muka. Pertama, saat kunjungan mereka ke markas kami; kedua dan ketiga di dayah mereka, dan keempat di sini. Aku tak banyak komentar sebab kepalaku dipenuhi keheranan mendalam, “Ternyata…Ohh My Allah”.

Jujur, ini kali kesekian. Dan, aku tak pernah mau menghitungnya. Aku pernah mengajar di beberapa sekolah di kota besar ini. Pernah di SMKN Penerbangan Aceh, SMAN 3 Banda Aceh, SMPN 18 Aceh, Lab School, Darul Ulum, SMK 3, SD 50, LBB PHI-BETA hingga RIAB. Dan, banyak sekali kesan yang kuperoleh dari semua tempat itu, salah satunya sebutan bahwa aku tomboy, maco, cem lakik, reper, keren, dan sejenisnya. Hahaha. Aku merasa heran pada diriku sendiri dan bertanya dalam hati, "Bukankah dulu hal ini merupakan salah satu impianku?

***
Dulu, beberapa waktu lalu, tepatnya saat aku duduk di bangku SD. Aku senang melihat cewe-cewe tomboy. Cewe yang sedang bermain basket, polwan, kowad, dan semacamnya. Aku suka melihat gaya mereka. Gaya mereka berbicara yang tegas dan tidak lembek. Gerakan mereka yang cepat dan cara mereka bergaul dengan sesama maupun lawan jenis begitu luwes, tidak kaku. Cara mereka berjalan, berpakaian, hmm. Hingga suatu waktu terbesit di hati bahwa aku ingin seperti mereka tapi rasa-rasanya tidak mungkin melihat kondisiku yang mencla mencle. Ya. Hanya sampai di situ aku berharap. Hanya sekali. Tapi, tak kusangka berefek luar biasa di kemudian hari.

Mulai saat itu, aku tak sadar bahwa hal-hal berbau feminim sangat kuhindari. Ya, walau aku masih senang mengoleksi benda berwarna pink namun cara berbicara, berjalan, makan, dan lain-lain sebisa mungkin aku lakukan selayaknya laki-laki. Perlahan aku lebih suka memilih tas ransel pendaki gunung untuk dibeli saat hendak masuk tahun ajaran baru. Aku suka celana gombrang. Jujur, aku tak sadar dengan semua perubahan kecil-kecil itu. Hingga untuk pertama kali, salah seorang kerabat yang telah lama tak kukunjungi berkata, ”Wah, dek Cut tomboy kali, kok? Haha.” Saat itu tentu reaksiku heran bercampur senang. Saat itu aku duduk di bangku SMP. Dan kemudian terus berlanjut hingga kini.

Ayah dan Ibu? Mereka sudah lelah mengarahkanku. Ayah bahkan kerap memukul pelan dengkulku dengan sendok kala menemukan kaki kiriku kulipat berdiri di atas kursi. Mamak tak bosan mengingatkanku untuk berjalan dengan bagus. Ayah pernah bilang, “Kamu perempuan, perempuan bukan begitu cara kerjanya, kasar.” Mamak juga pernah bilang, “Syukur kamu pakai rok, kalau tidak udahlah…” (NB: Sejak SMA kelas 2 aku istiqomah memakai rok atau celana gombrang).

Banyak komentar tertuju pada hal itu. Komentar itu pun beragam. Sebagian orang memberi tanggapan negatif dan sebagian lain positif. Negatif, karena menurut mereka ini tidak baik untukku. Positif, karena lebih baik menjadi diriku sendiri. Semua itu kudengar baik-baik dan kutanam kuat dalam benakku. Aku hanya berusaha semampuku untuk menjadi feminim walau selalu gagal dan gagal lagi. Hingga akhirnya aku tak perduli lagi.

Saat duduk di bangku sekolah, aku masih menjaga pergaulan dengan lelaki. Meski aku tomboy, aku lebih nyaman bergaul dengan perempuan. Terlebih lagi saat SMA karena aku merupakan seorang ketua rohis putri. Namun, saat kuliah aku mulai mengalihkan perhatianku pada komunitas seperti sanggar teater dan menulis. Aku pernah setahun bergabung di LDK. Namun, bersebab padatnya jadwal kuliah dan waktu kegiatan yang sering berbenturan dengan kegiatan sanggar, aku memilih keluar.  Perlahan, aku mulai banyak bergaul dengan laki-laki. Aku mulai paham bahwa laki-laki itu terkadang lebih enak untuk diajak berdiskusi dan berpikir mungkin karena logika lebih mendominasi. Kami lantas lebih sering membahas soal kepenulisan atau hal bersifat ilmu sastra daripada bergosip. Aku juga tak segan berbagi informasi dengan laki-laki di sosial media.

Semakin hari kekakuanku terhadap laki-laki berkurang. Oleh karena itu, aku yang dulu sangat enggan memulai duluan untuk berkomunikasi namun sekarang tidak lagi. Aku tak canggung dan tak merasa malu selama hal yang aku lakukan itu bukan merendahkan martabatku sebagai perempuan. Hal itu ternyata tanpa sadar semakin membentuk perilakuku mirip lelaki. Aku dipanggil “Tahe, Teuku, Cutbang dan sebutan laki-laki lainnya”. Mendapat sebutan seperti itu aku pun merasa bangga.
 

Suatu ketika, saat aku pulang ke kampung halaman untuk mengisi liburan semester genap. Seolah menjadi kebutuhan, setiap tiba di kampung, aku memangkas rambut hingga di bawah telinga-terlihat seperti lelaki memang. Hingga suatu hari, salah seorang sahabatku datang berkunjung. Seperti biasa, kami pun melepas rindu (NB: sahabatku perempuan semua kecuali Husin Rozi. Itu pun kalau dia merasa). Saat berbicara, aku tentu menanggalkan jilbab sebab sedang berada di dalam rumah. Di sela cang panah, “Duhh, macem bicara ma cowok korea aja lah!” Ucapnya mengeluh sendiri. Aku tertegun disambut tawa. Sorenya, kubaca status FB-nya berisi “Bicara berdua ma Icut macem bicara ma cowok Korea”. “Jiah! Dari mananya? Sipit kagak ni mata!” Saat kutanya ia menjelaskan, “ya, gaya bicaramu, ditambah penampilanmu itu, loh, Cut!” “Hahaha,” gelakku kemudian.  Dan, untuk selanjutnya lebih gila lagi. Salah satu teman kuliahku juga pernah berkata, “Cut mirip cowok Turki”. Abang guruku (NSA) pernah berkata, “Kalau Kau cowok, Kau ganteng, Tahe!” Dan, yang paling parah, beberapa orang berkata aku mirip Andika Pratama (suami Ussy). Wuaahh! Huahahaha!

Perlahan aku merasa semakin nyaman atas sikapku tapi tidak pada tampilan fisikku. Aku memang tak memakai celana layaknya lelaki. Aku juga tetap berjilbab selama di depan nonmahram. Namun, bajuku selalu coklat-hitam, atau warna lain yang gelap. Terkadang, aku pakai jilbab coklat, baju hitam, rok biru. Sangat tidak nyambung, ‘kan? Istilah teman-temanku, model “Medan-Jakarta-Bandung” atau “A-B-C”.

Yah, hingga suatu saat aku bertemu seorang sahabat baru yang sedikit cerewet tentang penampilanku. Ia tak lain adalah Azwita. Ia bagiku adalah pengamat fashion. Hahaha. Semenjak dengannya, aku mulai berubah dalam hal berpenampilan. Busanaku mulai berwarna. Hingga kini, pemilihan baju hingga gaya hijabku mulai variatif. Aku merasa mulai menemukan gayaku yang sesungguhnya. Yang paling  waw adalah beberapa bulan lalu, ketika aku menyambangi SMA-ku untuk melegalisir ijazah, tak kusangka banyak yang berkomentar aku sudah cantik! Mulai dari teman yang kebetulan sedang PPL di sana hingga guru-guruku! “Dulu Icut cupu dan polos, sekarang dah cantik kali ya, tapi, mansetnya kok hilang? Aku lantas menjawab dengan santai dan tak merasa berdosa, “Iya, Buk. Hilang di telan alam,” kemudian gelak tawa terdengar. (Untuk manset, aku punya alasan sendiri mengapa tak memakainya lagi saat ini-dan aku menyimpan harapan untuk memakainya lagi suatu saat nanti).

Kini, aku menikmati ke-maco-anku ini. Banyak yang bilang aku maco, tomboy, cem lakik, reper, atau apa lah, tapi semuanya berujung satu kata, yakni keren! (Entah itu hanya menghibur atau memang tulus dari hati, aku tak ambil pusing). So, kupikir tak ada yang salah dengan ini. Kalaupun aku harus berubah, itu perlu waktu. Sembari berupaya meminimalisasi ke-maco-an ini, aku berusaha memperbaiki ibadah dan akhlakku sebagai seorang muslimah (kukira itu lebih urgent). Hal yang paling penting adalah kalimat yang diucapkan salah seorang temanku “Cewe tomboy juga banyak peminatnya, kok, Cut!” Dan, "Yang paling penting, tak masalah menjadi cewe maco selama tidak maho! (Na'udzubillah) Heuheu. :D (Mudah-mudahan ini bukan sekedar untuk menghiburku).









2 komentar: