Rabu, 26 Agustus 2015

Di Teras Rumah Yura

Namanya Yura. Nama yang terlalu singkat untuk seorang gadis berbadan bongsor seperti dia. Sejak kecil, orangtua Yura senang memberinya makanan apapun, baik ringan maupun berat. Yura pun akan melahapnya dengan ikhlas dan lapang perut. Eh.

Walau bongsor, Yura beruntung memiliki warisan kulit yang putih dan bersih dari Ibunya. Sementara wajah khas Jepang pun ia peroleh dari bapaknya. Ya. Yura memang keturunan Jepang. Ayahnya adalah lelaki Jepang yang saat mudanya bertugas di Indonesia. Pertemuan bapak dan ibu Yura terjalin saat Bapak Yura pertama kali makan siang di warung tegal milik kakek Yura. Dan, ibu Yura lah yang melayaninya saat itu. Dari mata turun ke hati, bapak Yura pun melamar ibu Yura setahun kemudian setelah sebelumnya belajar islam secara intensif dan masuk islam dua bulan sebelum pernikahan berlangsung.

Yura kini tumbuh menjadi seorang gadis. Ia yang merupakan anak tunggal tentu menjadi kesayangan kedua orangtuanya. Apapun yang ia minta, tentu ia dapatkan. Namun, kedisiplinan juga menjadi syarat utama dari sang bapak. Maka, walau dimanja, ia juga dilatih untuk disiplin dalam segala hal. Dan itu membekas dalam darahnya hingga dewasa. Di balik kedisiplinannyan, Yura juga tumbuh menjadi anak yang hangat dan ceria. Mungkin asupan cinta kasih dari orang tua musababnya. Hingga perubahan pun terjadi dikarenakan suatu hal yang terjadi di kemudian hari.

Suatu sore yang hangat. Yura duduk sendiri di teras rumah sembari menatap kosong ke arah kebun rumah. Sang ibu rupanya menangkap sinyal aneh dari anak semata wayangnya. Yura lantas tak sadar bahwa ibu telah duduk di kursi sebelahnya. Ibu tak lantas menegurnya. Ibu membiarkan Yura menikmati lamunanya. Hingga akhinya… “Ibu?” Ibu tersenyum melihat Yura yang tersadar. “Sejak kapan Ibu duduk di situ?” Ibu lagi-lagi hanya tersenyum.

Esoknya, Yura kembali duduk di teras rumah. Ia kembali menatap kebun. Dilihatnya sepasang kupu-kupu yang terbang kian kemari. Sesekali hinggap di salah satu bunga lalu terbang lagi. Mereka berkejar-kejaran layaknya sepasang kekasih. Sesaat setelah itu, ia merasa bahwa ada orang yang memerhatikanya dari dekat. “Oh ternyata Ibu? Sudah lama Ibu di sini?” Ibu hanya mengangguk pelan sembari tersenyum.


Hari keempatpuluh. Yura seperti merasa keenakan duduk, menghabiskan sore hingga senja di pelataran rumah itu. Pemandangan hijau yang membentang indah di depan mata seolah senantiasa memanjakan mata. Sore itu kebetulan hujan. Yura semakin asyik dengan dua gelas kopi menemaninya. Lantunan musik Jepang tempo doeloe juga menambah sentimental suasana. “Ibu, lihatlah hujan semakin deras, ini kopinya diminum, Bu. Mumpung masih hangat. Aku sendiri yang membuatnya.” Dari kejauhan Ayah Yuri menatap nanar. Ada sekeping luka di hatinya.   

2 komentar:

  1. Salam ya buat Yura, bilang jangan suka melamun... Hehehe

    BalasHapus
  2. hahaha... iya kak. entar kemasukan jin cantik pulak lg ya :D

    BalasHapus