Namanya Yura. Nama yang terlalu
singkat untuk seorang gadis berbadan bongsor seperti dia. Sejak kecil, orangtua
Yura senang memberinya makanan apapun, baik ringan maupun berat. Yura pun akan
melahapnya dengan ikhlas dan lapang perut. Eh.
Walau bongsor, Yura beruntung
memiliki warisan kulit yang putih dan bersih dari Ibunya. Sementara wajah khas
Jepang pun ia peroleh dari bapaknya. Ya. Yura memang keturunan Jepang. Ayahnya
adalah lelaki Jepang yang saat mudanya bertugas di Indonesia. Pertemuan bapak
dan ibu Yura terjalin saat Bapak Yura pertama kali makan siang di warung tegal
milik kakek Yura. Dan, ibu Yura lah yang melayaninya saat itu. Dari mata turun
ke hati, bapak Yura pun melamar ibu Yura setahun kemudian setelah sebelumnya
belajar islam secara intensif dan masuk islam dua bulan sebelum pernikahan
berlangsung.
Yura kini tumbuh menjadi seorang
gadis. Ia yang merupakan anak tunggal tentu menjadi kesayangan kedua
orangtuanya. Apapun yang ia minta, tentu ia dapatkan. Namun, kedisiplinan juga
menjadi syarat utama dari sang bapak. Maka, walau dimanja, ia juga dilatih
untuk disiplin dalam segala hal. Dan itu membekas dalam darahnya hingga dewasa. Di balik kedisiplinannyan, Yura juga tumbuh menjadi anak yang hangat
dan ceria. Mungkin asupan cinta kasih dari orang tua musababnya. Hingga
perubahan pun terjadi dikarenakan suatu hal yang terjadi di kemudian hari.
Suatu sore yang hangat. Yura
duduk sendiri di teras rumah sembari menatap kosong ke arah kebun rumah. Sang
ibu rupanya menangkap sinyal aneh dari anak semata wayangnya. Yura lantas tak
sadar bahwa ibu telah duduk di kursi sebelahnya. Ibu tak lantas menegurnya. Ibu
membiarkan Yura menikmati lamunanya. Hingga akhinya… “Ibu?” Ibu tersenyum
melihat Yura yang tersadar. “Sejak kapan Ibu duduk di situ?” Ibu lagi-lagi
hanya tersenyum.
Esoknya, Yura kembali duduk di
teras rumah. Ia kembali menatap kebun. Dilihatnya sepasang kupu-kupu yang
terbang kian kemari. Sesekali hinggap di salah satu bunga lalu terbang lagi.
Mereka berkejar-kejaran layaknya sepasang kekasih. Sesaat setelah itu, ia
merasa bahwa ada orang yang memerhatikanya dari dekat. “Oh ternyata Ibu? Sudah
lama Ibu di sini?” Ibu hanya mengangguk pelan sembari tersenyum.
Hari keempatpuluh. Yura seperti
merasa keenakan duduk, menghabiskan sore hingga senja di pelataran rumah itu.
Pemandangan hijau yang membentang indah di depan mata seolah senantiasa
memanjakan mata. Sore itu kebetulan hujan. Yura semakin asyik dengan dua gelas
kopi menemaninya. Lantunan musik Jepang tempo doeloe juga menambah sentimental
suasana. “Ibu, lihatlah hujan semakin deras, ini kopinya diminum, Bu. Mumpung
masih hangat. Aku sendiri yang membuatnya.” Dari kejauhan Ayah Yuri menatap
nanar. Ada sekeping luka di hatinya.
Salam ya buat Yura, bilang jangan suka melamun... Hehehe
BalasHapushahaha... iya kak. entar kemasukan jin cantik pulak lg ya :D
BalasHapus