Kamis, 27 Agustus 2015

Sapa Aku di Syurga

Sebagai orang yang hidup dalam lingkungan kebahasaan, saya bersyukur memperoleh suatu ilmu yang tidak dimiliki oleh semua orang tentunya. Bukan hanya saya tapi juga teman-teman yang juga berkecimpung di dunia kebahasaan ini. Ya, yang namanya juga sudah nyemplung, ya udah kepalang basah. Apa yang sudah kami telan ya akan tumbuh dan mendarah daging dalam jiwa kami. Sederhananya, banyak sekali hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang menurut kami bertentangan dengan naluri kebahasaan kami. Hal tersebut sering menjadi masalah tersendiri bagi kami. Contoh kecil yang juga terjadi di kehidupan sehari-hari yakni terkait “sapaan akrab”.
  • Sebut saja nama mereka Jenong dan Sinus. Jenong dan Sinus merupakan mahasiswa yang kuliah di fakultas, jurusan dan kelas yang sama. Suatu hari, mereka hendak menyeberang jalan. Secara kebetulan, di seberang ada Bu Attha yang tidak lain ialah dosen keren dan beken di kampus mereka. Menyadari pertemuan yang sangat langka ini, Jenong dan Sinus pun tak tinggal diam. Mereka segera memanggil “Bu Attha!” Bu dosen cantik itu pun mengurungkan niatnya menaiki Jazz Silver yang terparkir di pinggir jalan. “Iya, Jenong dan Sinus, apa kabar?” Jenong dan Sinus lantas menyalami Bu Attha. “Alhamdulillah baik, Bu Attha, “Jawab mereka serentak. “Bu Attha hendak kemana? Besok kita ada kelas. Bu Attha bisa masuk, kan?
Nah, contoh kalimat “Alhamdulillah baik, Bu Attha, “Jawab mereka serentak. “Bu Attha hendak kemana? Besok kita ada kelas. Bu Attha bisa masuk, kan? merupakan contoh sapaan yang salah. Seharusnya, penyebutan “Bu Attha” pada kalimat itu diganti dengan “Ibu”. Hal itu dikarenakan oleh percakapan mereka yang dilakukan secara langsung. Tidak diperbolehkan untuk menyapa secara langsung dengan menyebut kata ganti lalu diikuti nama yang bersangkutan (Contoh: Bu + Attha). Lain halnya pada kalimat Mereka segera memanggil “Bu Attha!” Bu dosen cantik itu pun mengurungkan niatnya menaiki Jazz Silver yang terparkir di pinggir jalan. Memang, sapaan tersebut juga dilakukan secara langsung, namun secara pragmatik atau sederhananya kontekstual, itu diperbolehkan. Hal itu disebabkan oleh situasi yang tidak memungkinkan bagi si pemanggil hanya menyebut kata ganti orang. Bisa jadi, ada ibu-ibu lain yang kebetulan lewat di sekitar lokasi percakapan. 
  • Panggilan sapaan langsung “Adek” atau “Abang” antara lawan jenis yang belum mahram. Untuk sebagian kalangan, mungkin ini hal biasa dan diperbolehkan. Namun, saya yakin, untuk sebagian besar kalangan, ini risih untuk dilakukan. Panggilan “Adek” atau “Abang” sah dilakukan ketika sepasang lelaki dan perempuan tersebut telah menikah. Hal itu tentu akan menambah rasa akrab dan kasih sayang di antara keduanya. Namun, untuk pasangan nonmahram? Saya rasa alangkah lebih indah bila disebut “Dek+nama” atau “Bang+nama” atau “nama” saja.
  • .   Ini berlaku untuk siapapun yang sedang memadu kasih tanpa ikatan agama. Sering kita mendengar istilah “Papi-Mami, Umi-Ubi, Pipi-Mimi, Kanda-Dinda, Manda-Panda, Bebeb-Ayam, de el el. Saya tidak ingin berkomentar secara serius dalam kajian agama maupun kebahasaan. Toh, saya yakin kita sudah sama-sama dewasa. Sudah tahu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hanya saja, satu hal yang saya sarankan, alangkah indah bila dipanggil kumbang-kembang, daripada bebeb-ayam…:p atau panggilan lain yang wajar-wajar saja untuk didengar. ^_^

Itu hanya salah tiga contoh dari salah satu contoh pembahasan tentang ungkapan sapaan akrab. Belum lain-lain. So, semua orang bisa berbahasa Indonesia tapi tidak semua orang bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar! Salam Beretussss! ^_^  

Heran ya, judulnya ga nyambung? Samaaa, saya jugaaa! Hahaha :D






1 komentar: