Selasa, 04 April 2017

SAFIR 1

https://www.blogger.com


Langit Serambi Mekkah tak secerah biasa. Hujan terus mengguyur sejak pagi. Sepertinya sudah mulai musim penghujan. Jika begini, tantangan dalam hidup seakan lebih besar. Kehujanan, sakit, malas, becek, gluduk, angin. Sederet hal yang dianggap menjadi masalah. Mereka lupa pada kemarau berkepanjangan. Mereka lupa saat-saat sumur kosong. Saat-saat terik mentari membakar kulit. Bahkan bunga-bunga layu dalam sekejap. Itu lah manusia, lebih sering mengeluh, ketimbang bersyukur.

“Jam berapa dia biasanya pulang, Kak?”
Siat teuk, jam jam 5”
“Sejak kapan dia mengajar di Dayah, kak? Memangnya, ilmunya sudah cukup?”
“InsyaAllah cukup. Sesungguhnya dia itu anak yang pintar. Tak perlu waktu lama untuk memantaskan dirinya menjadi tenaga pendidik di sini, Cut.”
“Ehm, iya kak. Saya juga tahu soal itu. Putri kami memang cerdas. Dan kami lah yang bodoh. Telah menyia-nyiakannya.”
“Sudah lah, Bun…”
“Maafkan bunda, Ayah. Bunda dulu tidak mau mendengar perkataan Ayah. Bunda egois. Jika saja bunda mendengar kata Ayah untuk tidak mengizinkannya merantau ke Jakarta…hiks”
“Istighfar Bun…, aku juga salah. Abang kurang tegas saat itu.”
“Assalamu’alaikum,” Fatima sadar akan kehadiran kedua orangtuanya. Setelah menyalami Miwa, dia pun menghampiri kedua orang yg dikasihi itu. “Salam, Ayah, Bunda”
“Wa’alaikumsalam, Sayang,” jawab Ayah sembari mengelus kepalanya. Sementara Bunda yang sedari tadi memang paling gelisah langsung menghambur ke pelukan Fatima. Tangisnya pecah sampai-sampai kerudung Fatima basah.
“Sudah, Bun, tenang lah. Apa yang Bunda tangisi?”
Jawaban Fatima sangat berbeda dari beberapa bulan lalu saat kedua orangtua Fatima datang berkunjung. Jangankan berkata lembut, bertemu saja enggan. Antara malu dan benci. Dua hal itu yang menjadi alasan kuat Fatima untuk tidak menemui kedua orangtuanya. Namun, kini Fatima telah belajar banyak dari keluarga Miwa, kakak kandung ibunya, dari Pakwa (suami Miwa), dari abang, kakak, dan adik-adik sepupunya, dan yang pasti dari teman-teman pondok dan anak-anak didiknya. dia memperoleh sesuatu yang selama ini ia cari. Tentunya ketenangan, kenyamanan, kebahagiaan yang jujur dari hati yang datang dari sang Maha Penyayang.
“Bunda minta ma maafffh padamu, Sayang”
“Ayah juga”
Fatima menunduk dalam, tak sadar, air matanya menetes pula. Sementara Miwa permisi masuk ke dalam. Memberikan ruang bagi anak dan orang tua itu. “Ayah dan Bunda sangat merindukanmu, Nak! dulu kami banyak menyia-nyiakan waktu kami. Sehingga kamu pergi. Setelah kejadian beberap tahun silam, kami selalu dihantui rasa menyesal. Kami selalu memohon pada Allah agar diberi kesempatan. Kalau pun harta dan jabatan ini harus diambil, kami rela asal permata kami satu-satunya dapat kembali. Itu lah kamuuu…huhuhu,” pertahanan Ayah akhirnya kandas. Fatima lantas segera mendekap lutut ayahnya. Ia menangis dan mencium tangan ayahnya. “Kembali lah pada kami, sayang” kini giliran ibu yang ikut duduk di lantai lalu mendekap putrinya. Ketiga manusia itu pun saling mengeluarkan segala rasa yang lama terpendam. Sementara itu, dua pasang mata tampak beraca-kaca menyaksikan hal itu dari kejauhan.
***
Suara jangkrik memenuhi malam. Udara dingin menusuk usai hujan sejak sore hingga isya tadi. jalanan pun tampak lengang. Sepertinya sebagian besar penduduk lebih senang meringkuk di dalam rumah saat begini. Bahkan anak-anak yang biasanya meramaikan jalanan pun tidak memperlihatkan batang hidung mereka. Sepertinya menonton film serial india bersama ibu atau sekadar bergurau bersama saudara-saudara menjadi jalan alternatif.

Berbeda halnya dengan rumah keluarga tengku Zakaria. Malam ini seluruh keluarga berkumpul. Tengku Zakaria, Umi Saleha alias Miwa, bu Fatma alias ibunya Fatima juga Pak Buyung alias bapaknya Fatima duduk dan berbincang hangat di halaman rumah. Sementara Fatima beserta sepupu-sepupunya yang berjumlah tujuh itu berkumpul di ruang keluarga. Ada Bang Zul, si kembar bang Dun dan bang Din, dek Nurmala, kak Dara, kak Nisa dan si bungsu Fatih. Keluarga macut memang besar, sangat kontras dengan Fatima yang justru hanya anak semata wayang. Dulu, Fatima sempat nyaris menjadi seorang kakak sebelum ibunya keguguran. Dan setelah itu hingga kini, hanya ia lah yang menjadi anak dari kedua orang tuanya.

“Ramai sekali di sini. Pantesan si Fatima betah sekali,” ujar ayah Fatima.
“Yaa, kalau di sana, ketemunya itu lagi, itu lagi, ya Ayah, Ibu, Fatima,” timpal Bunda Fatima. “Apalagi selama Fatima tak pulang, ya hanya berdua lah kami. Sepi sekali.”
“Tapi, bisa mesra tiap hari dong…,” ujar Tengku Zakaria sembari tersenyum lalu disambut gelak tawa oleh yang lain.

Sementara di sudut lain, perbincangan muda-mudi tak kalah serunya.
“Wah, besok kak Fatima balik ke Padang. Tak ada lagi masakan rending buatan kak Fatima yang mangatttt thatttt!” keluh dek Nurmala.
“Loh, loh, kan makcik bisa masak rending juga, kak Dara dan kak Nisa juga. ya, kan?”
“Tapi, tetep aja beda, Kakk, apalagi masakan kak Dara dan kak Nisa, hemmm”
“Hemm apa, hmm?” serbu kak Dara. Sementara ka Nisa hanya mesam mesem.
“Yang jelas, masakan daerah yang dimasak oleh orang daerah asal itu lebih pas, kak Fat,” imbuh si bijak Dun.
“Iya, betul itu. Fatima sangat suka Kuah Pliek atau Sie Reboh masakan kak Nisa dan kak Dara. Mantaappp!”
“Dengar tu, dek Nur!” Goda Dara ke Nurmala. Yang digoda justru bersungut-sungut.
“Jadi, besok pulang ke Padang jam berapa kak?” tanya Din.
“Ehmmm, pesawat pertama, berarti...”
“Sebelum subuh kita berangkat”
“Yap. begitu, lah!”
“Nur mau ikut antar ka Fatima besok! Seru Nur.
“Alaaa, gayanya mau antar. Palingan besok bangunnya kesiangan,” goda din.
“Iiiih. Enggak, pokoknya besok bangunin nur. Nur mau antar kak Fatima!” Rajuknya.
“Yaudah, kalau mau antar, tidur sekarang,” timpal Nisa.
“Ehmmmm bentar lagi dehhh. Baru juga jam sembilaaannn.”
“Mau ikut nganter, gakkk?” Goda Dara.
“Huuu. Mau, tapiiii…kan, lagi asik.”
Akhirnya yang lain serentak menggoda, “Mau ikutt, gaaakk?” Yang digoda langsung cemberut sembari masuk kamar.
“Hahahaha.” Mereka terlhat sangat puas udah mengerjai si cerewet dek Nur.
“Kasian diaaa kak, masih pengen main,” ujar Fatima
“Biar aja, Fat. Kalau dia di sini pun yang ada sibuk layani ocehan dia. Han ek ta dengooo!” Sahut din.
Ucapan Din disambut tawa oleh yang lain. Sementara itu, si bungsu Fatih sudah mulai tertidur pulas di atas tikar depan tivi. Lelah bermain di siang hingga sore.

Malam ini bukan lah malam pertama bagi Fatima merasakan kehangatan sebuah keluarga di rumah tengku Zakaria. Namun, malam ini justru menjadi istimewa karena menjadi malam pertama setelah sekian lama ia merindukan kehangatan kebersamaan bersama Ayah dan Ibunya. Keistimewaan itu pun bertambah lengkap karena mimpi orangtua Fatima yang akhirnya terwujud untuk membawa pulang Fatima ke kampung halaman setelah bertahun-tahun mendapat kekecewaan karena gagal. Walau demikian, ada sedikit duka yang tersirat dari wajah gadis berkaca mata itu. Manakala ia ingat bahwa esok pula ia akan meninggalkan tempat yang sangat berkesan baginya ini, rumah tengku Zakaria, pesantren Darul Jannah, Aceh, beserta segala pernak-pernik dan kehangatannya.


bersambung ke Safir 2



Tidak ada komentar:

Posting Komentar