Langit Serambi Mekkah tak secerah biasa. Hujan terus mengguyur sejak pagi. Sepertinya sudah mulai musim penghujan. Jika begini, tantangan dalam hidup seakan lebih besar. Kehujanan, sakit, malas, becek, gluduk, angin. Sederet hal yang dianggap menjadi masalah. Mereka lupa pada kemarau berkepanjangan. Mereka lupa saat-saat sumur kosong. Saat-saat terik mentari membakar kulit. Bahkan bunga-bunga layu dalam sekejap. Itu lah manusia, lebih sering mengeluh, ketimbang bersyukur.
“Jam berapa dia biasanya pulang,
Kak?”
“Siat teuk, jam jam 5”
“Sejak kapan dia mengajar di
Dayah, kak? Memangnya, ilmunya sudah cukup?”
“InsyaAllah cukup. Sesungguhnya
dia itu anak yang pintar. Tak perlu waktu lama untuk memantaskan dirinya
menjadi tenaga pendidik di sini, Cut.”
“Ehm, iya kak. Saya juga tahu
soal itu. Putri kami memang cerdas. Dan kami lah yang bodoh. Telah
menyia-nyiakannya.”
“Sudah lah, Bun…”
“Maafkan bunda, Ayah. Bunda dulu
tidak mau mendengar perkataan Ayah. Bunda egois. Jika saja bunda mendengar kata
Ayah untuk tidak mengizinkannya merantau ke Jakarta…hiks”
“Istighfar Bun…, aku juga salah.
Abang kurang tegas saat itu.”
“Assalamu’alaikum,” Fatima sadar
akan kehadiran kedua orangtuanya. Setelah menyalami Miwa, dia pun menghampiri kedua orang yg dikasihi itu. “Salam,
Ayah, Bunda”
“Wa’alaikumsalam, Sayang,” jawab
Ayah sembari mengelus kepalanya. Sementara Bunda yang sedari tadi memang paling
gelisah langsung menghambur ke pelukan Fatima. Tangisnya pecah sampai-sampai
kerudung Fatima basah.
“Sudah, Bun, tenang lah. Apa yang
Bunda tangisi?”
Jawaban Fatima sangat berbeda
dari beberapa bulan lalu saat kedua orangtua Fatima datang berkunjung. Jangankan
berkata lembut, bertemu saja enggan. Antara malu dan benci. Dua hal itu yang
menjadi alasan kuat Fatima untuk tidak menemui kedua orangtuanya. Namun, kini
Fatima telah belajar banyak dari keluarga Miwa,
kakak kandung ibunya, dari Pakwa (suami
Miwa), dari abang, kakak, dan
adik-adik sepupunya, dan yang pasti dari teman-teman pondok dan anak-anak
didiknya. dia memperoleh sesuatu yang selama ini ia cari. Tentunya ketenangan, kenyamanan,
kebahagiaan yang jujur dari hati yang datang dari sang Maha Penyayang.
“Bunda
minta ma maafffh padamu, Sayang”
“Ayah
juga”
Fatima menunduk dalam, tak sadar, air
matanya menetes pula. Sementara Miwa permisi
masuk ke dalam. Memberikan ruang bagi anak dan orang tua itu. “Ayah dan Bunda sangat
merindukanmu, Nak! dulu kami banyak menyia-nyiakan waktu kami. Sehingga kamu
pergi. Setelah kejadian beberap tahun silam, kami selalu dihantui rasa
menyesal. Kami selalu memohon pada Allah agar diberi kesempatan. Kalau pun
harta dan jabatan ini harus diambil, kami rela asal permata kami satu-satunya
dapat kembali. Itu lah kamuuu…huhuhu,” pertahanan Ayah akhirnya kandas. Fatima
lantas segera mendekap lutut ayahnya. Ia menangis dan mencium tangan ayahnya. “Kembali
lah pada kami, sayang” kini giliran ibu yang ikut duduk di lantai lalu mendekap
putrinya. Ketiga manusia itu pun saling mengeluarkan segala rasa yang lama
terpendam. Sementara itu, dua pasang mata tampak beraca-kaca menyaksikan hal
itu dari kejauhan.
***
Suara
jangkrik memenuhi malam. Udara dingin menusuk usai hujan sejak sore hingga isya
tadi. jalanan pun tampak lengang. Sepertinya sebagian besar penduduk lebih
senang meringkuk di dalam rumah saat begini. Bahkan anak-anak yang biasanya
meramaikan jalanan pun tidak memperlihatkan batang hidung mereka. Sepertinya
menonton film serial india bersama ibu atau sekadar bergurau bersama
saudara-saudara menjadi jalan alternatif.
Berbeda
halnya dengan rumah keluarga tengku Zakaria. Malam ini seluruh keluarga
berkumpul. Tengku Zakaria, Umi Saleha alias Miwa, bu Fatma alias ibunya Fatima
juga Pak Buyung alias bapaknya Fatima duduk dan berbincang hangat di halaman
rumah. Sementara Fatima beserta sepupu-sepupunya yang berjumlah tujuh itu
berkumpul di ruang keluarga. Ada Bang Zul, si kembar bang Dun dan bang Din, dek
Nurmala, kak Dara, kak Nisa dan si bungsu Fatih. Keluarga macut memang besar,
sangat kontras dengan Fatima yang justru hanya anak semata wayang. Dulu, Fatima
sempat nyaris menjadi seorang kakak sebelum ibunya keguguran. Dan setelah itu
hingga kini, hanya ia lah yang menjadi anak dari kedua orang tuanya.
“Ramai sekali di sini. Pantesan
si Fatima betah sekali,” ujar ayah Fatima.
“Yaa, kalau di sana, ketemunya
itu lagi, itu lagi, ya Ayah, Ibu, Fatima,” timpal Bunda Fatima. “Apalagi selama
Fatima tak pulang, ya hanya berdua lah kami. Sepi sekali.”
“Tapi, bisa mesra tiap hari
dong…,” ujar Tengku Zakaria sembari tersenyum lalu disambut gelak tawa oleh
yang lain.
Sementara di sudut lain,
perbincangan muda-mudi tak kalah serunya.
“Wah, besok kak Fatima balik ke
Padang. Tak ada lagi masakan rending buatan kak Fatima yang mangatttt thatttt!”
keluh dek Nurmala.
“Loh, loh, kan makcik bisa masak
rending juga, kak Dara dan kak Nisa juga. ya, kan?”
“Tapi, tetep aja beda, Kakk,
apalagi masakan kak Dara dan kak Nisa, hemmm”
“Hemm apa, hmm?” serbu kak Dara.
Sementara ka Nisa hanya mesam mesem.
“Yang jelas, masakan daerah yang
dimasak oleh orang daerah asal itu lebih pas, kak Fat,” imbuh si bijak Dun.
“Iya, betul itu. Fatima sangat
suka Kuah Pliek atau Sie Reboh masakan kak Nisa dan kak Dara.
Mantaappp!”
“Dengar tu, dek Nur!” Goda Dara
ke Nurmala. Yang digoda justru bersungut-sungut.
“Jadi, besok pulang ke Padang jam
berapa kak?” tanya Din.
“Ehmmm, pesawat pertama, berarti...”
“Sebelum subuh kita berangkat”
“Yap. begitu, lah!”
“Nur mau ikut antar ka Fatima
besok! Seru Nur.
“Alaaa, gayanya mau antar.
Palingan besok bangunnya kesiangan,” goda din.
“Iiiih. Enggak, pokoknya besok
bangunin nur. Nur mau antar kak Fatima!” Rajuknya.
“Yaudah, kalau mau antar, tidur
sekarang,” timpal Nisa.
“Ehmmmm bentar lagi dehhh. Baru
juga jam sembilaaannn.”
“Mau ikut nganter, gakkk?” Goda Dara.
“Huuu. Mau, tapiiii…kan, lagi
asik.”
Akhirnya yang lain serentak
menggoda, “Mau ikutt, gaaakk?” Yang digoda langsung cemberut sembari masuk
kamar.
“Hahahaha.” Mereka terlhat sangat
puas udah mengerjai si cerewet dek Nur.
“Kasian diaaa kak, masih pengen
main,” ujar Fatima
“Biar aja, Fat. Kalau dia di sini
pun yang ada sibuk layani ocehan dia. Han
ek ta dengooo!” Sahut din.
Ucapan Din disambut tawa oleh
yang lain. Sementara itu, si bungsu Fatih sudah mulai tertidur pulas di atas
tikar depan tivi. Lelah bermain di siang hingga sore.
Malam ini
bukan lah malam pertama bagi Fatima merasakan kehangatan sebuah keluarga di
rumah tengku Zakaria. Namun, malam ini justru menjadi istimewa karena menjadi
malam pertama setelah sekian lama ia merindukan kehangatan kebersamaan bersama
Ayah dan Ibunya. Keistimewaan itu pun bertambah lengkap karena mimpi orangtua
Fatima yang akhirnya terwujud untuk membawa pulang Fatima ke kampung halaman
setelah bertahun-tahun mendapat kekecewaan karena gagal. Walau demikian, ada
sedikit duka yang tersirat dari wajah gadis berkaca mata itu. Manakala ia ingat
bahwa esok pula ia akan meninggalkan tempat yang sangat berkesan baginya ini,
rumah tengku Zakaria, pesantren Darul Jannah, Aceh, beserta segala
pernak-pernik dan kehangatannya.
bersambung ke Safir 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar