Bioritme Sekolah
Biru
Angin berhembus halus di antara
sinar mentari pagi yang hangat. Ya. Hari senin nan sejuk ini terasa lebih sejuk
daripada senin-senin sebelumnya. Ini hari pertamaku mengenakan seragam hijau
tua yang nantinya akan menyebabkanku ditandai sebagai pegawai negeri. Lebih
tepatnya, “Ibu guru”. Hehe. Aku tersenyum lebar, begitu tulus, pada siswa-siswi yang menatap dan menganggukiku. Wah, aku
serasa bagai artis papan atas yang tengah berjalan di red carpet. Wuuhuu! Sungguh
aku sangat menikmatinya! Hahahaha
Upacara bendera pun
usai. Siswa, siswi, guru, pegawai Tata Usaha, pegawai kesiswaan, dan peserta
upacara lainnya berhamburan menuju kandang masing-masing. Tinggallah aku,
sendiri. Dengan hati dag dig dug,
kakiku melangkah dengan tidak pasti menuju kelas perdana, yakni kelas yang akan
tercatat di lembaran pertama dalam kehidupan mengajarku. Tak…tuk…tak…suara sepatu high
heels-ku terdengar begitu jelas, mungkin karena saking gugupnya aku.
“Ibuuuuuk!” Aku terkejut setengah mati melihat sesosok anak muncul dari balik
jendela. Hanya kepalanya yang terlihat. “Ibuk manis neh, ibuk ngajar di kelas
kami kan?” Aku tak menjawab. Bola mataku tertuju ke papan yang tertempel di
sisi atas pintu. Kelas VII.5. Ehm.
Kakiku berjalan semakin lamban. Tak..tuk..tak..tuk….”Ibuuukkkk”
Untuk kedua kalinya aku terkejut. Siswa berbadan gembul dan pendek itu
lagi-lagi muncul. Kali ini di balik pintu. “Ibuk manis beneran masuk di sini
kan? Bener kan? Jodoh emang gak kemana ya buk. Hehehe.” Bleg! Aku tahu kalau anak seusia itu tengah puber, tapi ini mah
kelewatan namanya kalau puber sama guru sendiri. Adoh adohhh! Aku pun tersenyum penuh paksa sembari mengangguk. Lalu
masuk.
Mentari mencapai
puncaknya. Kuteguk es teh manis gelas kedua. Ah, betul-betul dahaga! Sepertinya, esok harus ada persediaan air satu
botol untuk setiap kali mengajar. Kalau tidak? Hmm. Kelas itu memang
berjalan lancar, tetapi aku merasa risih sendiri dengan perlakuan anak yang tengah
puber-pubernya. Aku juga begitu lelah dengan tingkah seorang siswi yang sibuk
memukul-mukul meja saat aku menjelaskan. Sesekali kuamati wajah-wajah mereka
yang tak merasa berdosa. Berani-beraninya mereka hanya duduk dan tidak begitu
perduli dengan yang kulakukan? Kecuali beberapa saja, mereka yang duduk di
deretan paling depan. Haaah!
Sebagai guru baru, aku
diamanahkan untuk memegang satu kelas terlebih dahulu. Aku dapat memahami itu
karena memang butuh penyesuaian bagi guru baru sepertiku dalam mengajar di
sekolah ternama ini. Aku pun tak mau banyak tingkah karena tahu diri masih
butuh banyak belajar. Jarum pendek jam tanganku menunjukkan pukul 9. 30 wib.
Ini waktunya. Betapapun ini hari kedua. Aku tak boleh cengeng hanya karena
gagal di hari pertama. Ah, namanya juga anak-anak. Bocah ingusan yang baru
menginjak sekolah SMP. Wajarlah! Aku berusaha menghibur diri sendiri selama
perjalanan menuju kelas.
Ini hari kedua. Segala
persiapan lahir dan batin telah kupersiapkan tadi malam. Aku tak ingin lagi
kecolongan seperti kemarin. Lihat
bocah-bocah manis, akan kubuat kalian jatuh hati padaku! “Untuk bertahan hidup di sini, kau harus
pastikan niatmu untuk mendidik, bukan sekadar mengajar. Hal yang kau capai
adalah cintanya anak-anak, bukan sekedar gaji di akhir bulan. Sejak awal, kau
harus tunjukkan bahwa kau adalah guru dan mereka adalah murid. Jika kau telah
berhasil meraih hati mereka, maka tak kan sulit bagimu untuk melaksanakan
tugasmu.” Kalimat yang begitu sederhana, namun begitu membiusku. Kalimat
itu berasal dari ibuku sendiri. Usai ia menyampaikan kalimat itu, aku baru
sadar bahwa ia beberapa tahun lalu baru saja pensiun dari SMA Harapan Bangsa.
Mereka duduk dengan
tertib dalam kelompok masing-masing. Aku menatap mereka dengan senyum manis,
namun kali ini tulus dari hati. Tak lama si pendek gembul bersuara, “Ibu
manis…”
“Amar yang baik hati, boleh Ibu minta
tolong?“
“Siap ibu manis!”
“Tolong, panggil Ibu “Bu Aira”,
boleh? Ibu akan lebih senang bila Amar panggil dengan sebutan itu.”
“Ohh. Boleh banget dong ibu
m-Aira!”
Siswa lain pun tertawa. Aku
tersenyum lega. “Terima kasih, Amar.”
Lantas aku menyuruh mereka untuk
pergi ke luar kelas untuk mengambil benda yang menurut mereka unik. Setelah
itu, aku bagikan kertas HVS warna-warni kepada tiap kelompok.
“Sekarang, tiap kelompok kan
telah mempunyai sebuah benda unik masing-masing. Tolong tiap orang dari
masing-masing kelompok gambarkan benda unik tersebut! Tapi, gambarnya bukan
dengan garis, tapi dengan kata-kata. Paham?”
“Enggak bukk!” jawab siswa
serentak.
“Begini contohnya, ibu mempunyai
benda unik Amar,” Amar tersipu. Siswa lain terbahak.
“Ibu menggambar Amar dengan
kata-kata seperti ini,” seluruh siswa mendengar dengan seksama.
“Amar itu orangnya cakep.” Serta
– merta kelas menjadi gaduh. “Amar tingginya sekitar 140 cm. Amar mempunyai
bulu mata lentik, hidung mancung, dan pipi yang tembem.” Lagi-lagi siswa gaduh.
Kulihat amar hanya tersipu-sipu. “Amar, kulitnya coklat dan senyumnya manis. Ia
anak yang pandai. Tepuk tangan dong, buat Amar!” Prok..prok..prok. Semua siswa
bertepuk tangan. Kuharap Amar tak lagi merasa kekurangan perhatian.
“Nah, sudah paham?”
“Sudahhh boookkk!” Lantas kulihat
mereka begitu bersemangat merangkai kata. Aku pun tak sempat duduk karena asyik
berkeliling melihat kinerja mereka. Tak sedikit yang merasa kesulitan, aku pun
membantu mereka. Hingga tanpa terasa semua siswa telah selesai melaksanakan
tugasnya. Satu persatu kuminta maju ke depan. Untuk menghemat waktu, aku
meminta perwakilan dari tiap kelompok saja.
“Ya, kelompok satu!”
Rini maju dengan bangganya. Siswa
lain memasang telinga. Ada yang tersenyum-senyum. Seakan telah tahu apa yang
akan disampaikan oleh Rini.
“Namanya bunga lonte, dia suka
berada di rumput yang semak belukar. Jika aku berjalan melewati rumput semak
belukar, bunga lonte pun menempel di rokku. Aduh bunga lonte, kau nakal
sekali,” Spontan gelak tawa membahana. Aku yang tak sanggup menahan geli,
lantas keluar kelas melepas tawa. Sejenak saja. Lalu kembali masuk dan
menenangkan siswa. Kutangkap rona merah di wajah Rini. “Ya, bagus sekali ya!
Tepuk tangannya dong buat Rini! Aku dan siswa bertepuk-tangan sembari
tersenyum-senyum. Rini kembali ke tempat duduk. Dan, bukan hanya itu. Sang
ketua kelas, Rama, pun tak kalah lucu.
“Tubuhmu panjang, berlapis-lapis
seperti nanas. Tubuhmu pun begitu keras dan berwarna coklat gelap. Aku
menemukanmu di bawah pohon pinus. Terbaring tak berdaya bersama teman-temanmu.
Sampai saat ini, siapa namamu? Aku pun tak tahu! Untuk ke sekian kalinya kami
tertawa terbahak.
Kelas pun ramai hingga bel
berbunyi. Aku lega. Wajar bila kemarin tak seindah hari ini. Bukan salah
mereka, tapi salahku sendiri. Bercerita sampai mulut berbuih, sedang mereka
hanya sanggup memasang telinga dalam waktu terbatas. Ternyata justru siswa
lebih bertahan membuka telinganya bila diiringi dengan indera lain yang ikut
bekerja. Karena, hakikatnya anak seusia mereka cepat bosan bila dihadapkan pada
situasi monoton. Ouh, terima kasih, Ibu! Andai aku menyadarinya lebih cepat.
Cahaya matahari
menembus dedaunan pinus menyinari jalan setapak. Udara kering dan segar. Aku
bisa merasakan adrenalinku mengalir begitu teratur. Ini hari kesepuluh.
Sesekali memang aku menyiapkan diri untuk situasi yang akan menyulitkanku.
Namun, hingga kini, aku masih lebih sering menikmati senyum mereka yang sesaat
kemudian nyaris pecah menjadi tawa.
Ulee
Kareng, 4 Januari 2014
hehe :D fighting cut.. you are the best miss...
BalasHapusmaaf kak bru baca
Hapushahaha kk jg the best misss :D
kalau muridnya macam2, keluarkan jurus lagu india si buto ijo dan jilbaber. :D. Tujedekatoyeeeee
BalasHapusya Allah maaf bru liat k
Hapushaha gmn tu kak jurus buto ijo dan jilbaber? :D ajarin donk