Jumat, 02 Mei 2014

Bioritme Sekolah Biru

Bioritme Sekolah Biru

Angin berhembus halus di antara sinar mentari pagi yang hangat. Ya. Hari senin nan sejuk ini terasa lebih sejuk daripada senin-senin sebelumnya. Ini hari pertamaku mengenakan seragam hijau tua yang nantinya akan menyebabkanku ditandai sebagai pegawai negeri. Lebih tepatnya, “Ibu guru”. Hehe. Aku tersenyum lebar, begitu tulus, pada siswa-siswi  yang menatap dan menganggukiku. Wah, aku serasa bagai artis papan atas yang tengah berjalan di red carpet. Wuuhuu! Sungguh aku sangat menikmatinya! Hahahaha
Upacara bendera pun usai. Siswa, siswi, guru, pegawai Tata Usaha, pegawai kesiswaan, dan peserta upacara lainnya berhamburan menuju kandang masing-masing. Tinggallah aku, sendiri. ­­ Dengan hati dag dig dug, kakiku melangkah dengan tidak pasti menuju kelas perdana, yakni kelas yang akan tercatat di lembaran pertama dalam kehidupan mengajarku. Tak…tuk…tak…suara sepatu high heels-ku terdengar begitu jelas, mungkin karena saking gugupnya aku. “Ibuuuuuk!” Aku terkejut setengah mati melihat sesosok anak muncul dari balik jendela. Hanya kepalanya yang terlihat. “Ibuk manis neh, ibuk ngajar di kelas kami kan?” Aku tak menjawab. Bola mataku tertuju ke papan yang tertempel di sisi atas pintu. Kelas VII.5. Ehm. Kakiku berjalan semakin lamban. Tak..tuk..tak..tuk….”Ibuuukkkk” Untuk kedua kalinya aku terkejut. Siswa berbadan gembul dan pendek itu lagi-lagi muncul. Kali ini di balik pintu. “Ibuk manis beneran masuk di sini kan? Bener kan? Jodoh emang gak kemana ya buk. Hehehe.” Bleg! Aku tahu kalau anak seusia itu tengah puber, tapi ini mah kelewatan namanya kalau puber sama guru sendiri. Adoh adohhh! Aku pun tersenyum penuh paksa sembari mengangguk. Lalu masuk.
Mentari mencapai puncaknya. Kuteguk es teh manis gelas kedua. Ah, betul-betul dahaga! Sepertinya, esok harus ada persediaan air satu botol untuk setiap kali mengajar. Kalau tidak? Hmm. Kelas itu memang berjalan lancar, tetapi aku merasa risih sendiri dengan perlakuan anak yang tengah puber-pubernya. Aku juga begitu lelah dengan tingkah seorang siswi yang sibuk memukul-mukul meja saat aku menjelaskan. Sesekali kuamati wajah-wajah mereka yang tak merasa berdosa. Berani-beraninya mereka hanya duduk dan tidak begitu perduli dengan yang kulakukan? Kecuali beberapa saja, mereka yang duduk di deretan paling depan. Haaah!
Sebagai guru baru, aku diamanahkan untuk memegang satu kelas terlebih dahulu. Aku dapat memahami itu karena memang butuh penyesuaian bagi guru baru sepertiku dalam mengajar di sekolah ternama ini. Aku pun tak mau banyak tingkah karena tahu diri masih butuh banyak belajar. Jarum pendek jam tanganku menunjukkan pukul 9. 30 wib. Ini waktunya. Betapapun ini hari kedua. Aku tak boleh cengeng hanya karena gagal di hari pertama. Ah, namanya juga anak-anak. Bocah ingusan yang baru menginjak sekolah SMP. Wajarlah! Aku berusaha menghibur diri sendiri selama perjalanan menuju kelas.  
Ini hari kedua. Segala persiapan lahir dan batin telah kupersiapkan tadi malam. Aku tak ingin lagi kecolongan seperti kemarin. Lihat bocah-bocah manis, akan kubuat kalian jatuh hati padaku! “Untuk bertahan hidup di sini, kau harus pastikan niatmu untuk mendidik, bukan sekadar mengajar. Hal yang kau capai adalah cintanya anak-anak, bukan sekedar gaji di akhir bulan. Sejak awal, kau harus tunjukkan bahwa kau adalah guru dan mereka adalah murid. Jika kau telah berhasil meraih hati mereka, maka tak kan sulit bagimu untuk melaksanakan tugasmu.” Kalimat yang begitu sederhana, namun begitu membiusku. Kalimat itu berasal dari ibuku sendiri. Usai ia menyampaikan kalimat itu, aku baru sadar bahwa ia beberapa tahun lalu baru saja pensiun dari SMA Harapan Bangsa.
Mereka duduk dengan tertib dalam kelompok masing-masing. Aku menatap mereka dengan senyum manis, namun kali ini tulus dari hati. Tak lama si pendek gembul bersuara, “Ibu manis…”
“Amar yang baik hati, boleh Ibu minta tolong?“
“Siap ibu manis!”
“Tolong, panggil Ibu “Bu Aira”, boleh? Ibu akan lebih senang bila Amar panggil dengan sebutan itu.”
“Ohh. Boleh banget dong ibu m-Aira!”
Siswa lain pun tertawa. Aku tersenyum lega. “Terima kasih, Amar.”
Lantas aku menyuruh mereka untuk pergi ke luar kelas untuk mengambil benda yang menurut mereka unik. Setelah itu, aku bagikan kertas HVS warna-warni kepada tiap kelompok.
“Sekarang, tiap kelompok kan telah mempunyai sebuah benda unik masing-masing. Tolong tiap orang dari masing-masing kelompok gambarkan benda unik tersebut! Tapi, gambarnya bukan dengan garis, tapi dengan kata-kata. Paham?”
“Enggak bukk!” jawab siswa serentak.
“Begini contohnya, ibu mempunyai benda unik Amar,” Amar tersipu. Siswa lain terbahak.
“Ibu menggambar Amar dengan kata-kata seperti ini,” seluruh siswa mendengar dengan seksama.
“Amar itu orangnya cakep.” Serta – merta kelas menjadi gaduh. “Amar tingginya sekitar 140 cm. Amar mempunyai bulu mata lentik, hidung mancung, dan pipi yang tembem.” Lagi-lagi siswa gaduh. Kulihat amar hanya tersipu-sipu. “Amar, kulitnya coklat dan senyumnya manis. Ia anak yang pandai. Tepuk tangan dong, buat Amar!” Prok..prok..prok. Semua siswa bertepuk tangan. Kuharap Amar tak lagi merasa kekurangan perhatian.
“Nah, sudah paham?”
“Sudahhh boookkk!” Lantas kulihat mereka begitu bersemangat merangkai kata. Aku pun tak sempat duduk karena asyik berkeliling melihat kinerja mereka. Tak sedikit yang merasa kesulitan, aku pun membantu mereka. Hingga tanpa terasa semua siswa telah selesai melaksanakan tugasnya. Satu persatu kuminta maju ke depan. Untuk menghemat waktu, aku meminta perwakilan dari tiap kelompok saja.
“Ya, kelompok satu!”
Rini maju dengan bangganya. Siswa lain memasang telinga. Ada yang tersenyum-senyum. Seakan telah tahu apa yang akan disampaikan oleh Rini.
“Namanya bunga lonte, dia suka berada di rumput yang semak belukar. Jika aku berjalan melewati rumput semak belukar, bunga lonte pun menempel di rokku. Aduh bunga lonte, kau nakal sekali,” Spontan gelak tawa membahana. Aku yang tak sanggup menahan geli, lantas keluar kelas melepas tawa. Sejenak saja. Lalu kembali masuk dan menenangkan siswa. Kutangkap rona merah di wajah Rini. “Ya, bagus sekali ya! Tepuk tangannya dong buat Rini! Aku dan siswa bertepuk-tangan sembari tersenyum-senyum. Rini kembali ke tempat duduk. Dan, bukan hanya itu. Sang ketua kelas, Rama, pun tak kalah lucu.
“Tubuhmu panjang, berlapis-lapis seperti nanas. Tubuhmu pun begitu keras dan berwarna coklat gelap. Aku menemukanmu di bawah pohon pinus. Terbaring tak berdaya bersama teman-temanmu. Sampai saat ini, siapa namamu? Aku pun tak tahu! Untuk ke sekian kalinya kami tertawa terbahak.
Kelas pun ramai hingga bel berbunyi. Aku lega. Wajar bila kemarin tak seindah hari ini. Bukan salah mereka, tapi salahku sendiri. Bercerita sampai mulut berbuih, sedang mereka hanya sanggup memasang telinga dalam waktu terbatas. Ternyata justru siswa lebih bertahan membuka telinganya bila diiringi dengan indera lain yang ikut bekerja. Karena, hakikatnya anak seusia mereka cepat bosan bila dihadapkan pada situasi monoton. Ouh, terima kasih, Ibu! Andai aku menyadarinya lebih cepat.
Cahaya matahari menembus dedaunan pinus menyinari jalan setapak. Udara kering dan segar. Aku bisa merasakan adrenalinku mengalir begitu teratur. Ini hari kesepuluh. Sesekali memang aku menyiapkan diri untuk situasi yang akan menyulitkanku. Namun, hingga kini, aku masih lebih sering menikmati senyum mereka yang sesaat kemudian nyaris pecah menjadi tawa.
Ulee Kareng, 4 Januari 2014








4 komentar:

  1. hehe :D fighting cut.. you are the best miss...

    BalasHapus
    Balasan
    1. maaf kak bru baca
      hahaha kk jg the best misss :D

      Hapus
  2. kalau muridnya macam2, keluarkan jurus lagu india si buto ijo dan jilbaber. :D. Tujedekatoyeeeee

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya Allah maaf bru liat k
      haha gmn tu kak jurus buto ijo dan jilbaber? :D ajarin donk

      Hapus