Sulur-sulur
daun kelapa menjuntai tertiup angin sore.
Jalanan tampak ramai oleh anak-anak maupun muda-mudi yang tengah
menikmati akhir pekan. Tampak pula di salah satu sudut seorang wanita muda
tengah duduk termenung sendiri. Tatapannya lurus ke depan, namun kosong.
Wajahnya pucat serupa lilin lebah.
Jilbabnya kusut, sekusut pikirannya saat ini. Bayangan itu pun muncul
kembali. Selalu saja manakala sunyi melanda diri.
Malam
yang gerimis. Angin kencang. Petir menyalang. Lelaki itu menggedor pintu
seperti orang kesurupan. Perempuan muda yang baru saja menuntaskan rakaat
akhirnya lantas buru-buru membuka pintu. “Maaf, mas. Saya baru selesai shalat
,“ ucapnya sembari menutup pintu lalu menguncinya kembali. Lelaki itu diam saja. Tubuhnya basah kuyup.
“Mas, mau kumasakkan air hangat dulu untuk mandi atau langsung mandi?” Lelaki
itu tak menjawab. Ia lantas segera melesat ke kamar mandi lalu membersihkan
tubuh. Perempuan muda bernama lengkap Nurmala pun terdiam. Ia hanya merasa
bahwa ada yang aneh pada diri lelaki yang telah hampir setengah tahun
menikahinya itu.
Malam
kian larut. Nurmala menanti suami di ruang makan. Namun, tak jua ia mendengar
telapak kaki sang suami menghampirinya seperti biasa. “Sayang….masak apa hari
ini?” Kalimat yang telah amat dihafal oleh Mala. Lalu sesaat kemudian sang
suami akan memeluknya erat dan hangat. Dan terobati lah rasa rindu di hati Mala
setelah seharian berpisah. Namun, malam ini sepertinya berbeda. Entah oleh sebab
apa. Lantas Mala pun berniat menjemputnya. Sayang, ternyata lelaki itu telah
tertidur pulas. Mala hanya bisa tersenyum. Getir. Pasalnya lelaki itu tak
pernah lantas tidur walau selelah apapun. Paling gak dia memberi kabar agar
Mala tak perlu menunggu lama. Sudahlah, mungkin dia sedang menghadapi masalah
besar di kantornya….husnudzon, Mala! Husnudzon! Mala lantas menyantap makanan
seorang diri malam itu. Dan, itu adalah awal dari kehancuran mahligai yang baru
saja dibangun dengan susah payah oleh sepasang kekasih itu. Mala dan Saman.
Awal dari alasan mengapa Mala dan Saman harus berpisah. Menyisakan
serpihan-serpihan kenangan yang sesekali membuat Mala tersenyum, lalu sesaat
membuatnya meneteskan air mata.
Siang
nan terik. Mala tahu ini adalah hari yang baik untuk ia dan Saman pergi
berlibur. Kalau perlu berbulan madu singkat. Betapapun, kesibukan beberapa
pekan ini lumayan mengganggu kemesraan hubungan mereka berdua. Maka, tepat
ketika Saman selesai menghabiskan sarapannya, Mala pun angkat bicara, “Bang,
keluar yuk! Refreshing! Kita kan udah lama gak jalan-jalan berdua! Aku kangen…
,” bujuk Mala, manja. Saman tak menyahut sepatahpun. Ia justru beranjak dari
kursi lalu melesat ke ruang kerja.
“Bang, kenapa tak menjawab? Gak mau ya?”
“Bang, kenapa tak menjawab? Gak mau ya?”
“Aku
capek, Mala. Ini hari libur. Lebih baik kita isi stamina kita masing-masing
untuk seminggu ke depan. Pekerjaanku di kantor menumpuk! Tahu!”
“Ooh,
begitu ya? Tapi, apa abang mesti menjawabnya dengan kasar begitu? Tak bisa ya
kalau bicaranya biasa aja?” Air mata Mala mengalir begitu saja di pipi
putihnya.
“Kamu ini kenapa? Akhir-akhir ini sensi aja kerjanya? Bentar-bentar bilang aku kasar lah…terus nangis lah!”
“Kamu ini kenapa? Akhir-akhir ini sensi aja kerjanya? Bentar-bentar bilang aku kasar lah…terus nangis lah!”
“Tanyakan
sendiri pada dirimu, Bang! Aku capek!” Mala tak sanggup. Ia lari ke kamar.
Meninggalkan Saman dengan ekspresi yang berubah.
***
Ini
sudah bulan kesembilan pernikahan. Saman tetap belum berubah. Ia masih kaku,
bahkan semakin kaku sejak tiga bulan lalu. Hingga saat ini, Mala pun belum jua
dapat menemukan penyebab perubahan sikap suaminya. Ia bersyukur, masih ada
banyak orang di sekeliling yang mampu menghiburnya. Mereka pun belum tahu
perihal keretakan hubungannya dengan Sam. Namun, bau-bau ketidakwajaran
sesekali tercium oleh sahabat dekatnya, Jamila. “Kau kenapa Mala? Matamu sembab
seperti habis nangis gitu?” Jika ditanya begitu Mala hanya menjawab singkat,
“Tak apa-apa. Semalam nonton film india. Sedih banget filmnya. Jadi, aku nangis
gitu saking terbawanya. Hehe.” Jamila tau bahwa sahabat sejak SMP-nya itu
sangat senang dengan film India. Namun, apa mungkin hampir setiap malam Mala
menangis karena nonton film India? Memangnya Mala cuma punya stok film India
yang berjenis tragedi? Setahu Jamila film India tak semuanya bersifat galau.
Justru di zaman modern ini harusnya banyak yang lebih ceria. Ah, Allahu’alam!
Mudah-mudahan saja tak terjadi hal-hal buruk terhadap Mala. Aamiin. Jamila hanya bisa berdoa dalam hati. Nyaris
setiap hari.
***
Mala
mengambil mushaf. Matanya berlinangan air mata. Pipinya lembam. Ia tahu bahwa
Saman lelaki shaleh. Tapi, ia tak menyangka bahwa Saman akan sampai hati
memukulnya dengan kalap hanya gara-gara Mala tak mau melayaninya. Mala sungguh
bukan tak mau. Mala hanya meminta untuk menunda setelah ia beristirahat
sebentar. Malam itu Mala memang sangat lelah. Sepulang dari sekolah ia langsung
ke supermarket membeli segala macam keperluan dapur dan juga bahan-bahan untuk
dimasak hari itu. Ia yakin sekali bahwa malam itu Saman akan pulang lebih awal
dan berubah kembali seperti beberapa bulan lalu. Begitu ia setiap hari berharap
dan berdoa. Pasalnya, tiap kali bersitegang, Saman tak pernah menjawab satu
pertanyaan Mala, “Apa salah Mala, Bang? Mengapa Abang berubah?” Mala pun pulang
membawa beberapa barang kemudian disusul sebuah becak mesin yang membawa sisa
barangnya yang berat dan banyak itu.
Usai
membersihkan rumah. Mulailah Mala sibuk sendiri di dapur. Ia masak banyak
sekali makanan. Ada sayur pliek, sayur rebus, sambal belacan, ayam tangkap, dan
ikan digulai Aceh. Tak lupa ia masak kue bolu khasnya yang menjadi kesukaan
Saman sewaktu baru-baru menikah. Mala tak perlu khawatir bahwa Saman akan
bersikap dingin lagi padanya. Karena, untuk urusan makan, Saman selalu lebih
memilih di rumah. Ia tak begitu suka makanan di luar.
Makanan
pun telah terhidang dengan cantik. Secantik rupa dan penampilan Mala saat itu.
Ia menanti sejak bakda isya hingga pukul sebelas lewat, Saman belum juga
muncul. Sayup-sayup mata mala terpejam. Ia mulai merasakan lelah melingkupi
tubuhnya. Pegal-pegal mulai terasa, di bagian tangan, kaki, lalu badan. Kelelahan
membuatnya mengantuk. Hingga tertidur selama beberapa menit, lalu terbangun
oleh suara ketukan pintu. “Abang pulang..” Mala bangkit dengan jalan
tergopoh.
Usai
mandi Saman segera menghabiskan makanan. Ia begitu manis malam ini. Mungkin
karena ia sadar, istrinya telah berupaya memasak dan berdandan cantik untuknya
malam ini. Mala pun tampak berbinar saat Saman meminta tambah nasi. Begitu pula
saat Saman mengucapkan terima kasih dengan lembut. Walau tak selembut beberapa
bulan lalu. “Sama-sama, abang..” Mala bersyukur banyak-banyak dalam hati. Ia
berharap itu bukan mimpi. Namun, semua itu berakhir kala Saman mendekatinya
lalu hendak menciumnya. Mala berkata, “Bang, aku tidur setengah jam aja dulu
boleh ya? Biar lebih fit. Aku capek banget soalnya. Takutnya nanti abang
kecewa.” Seketika itu pula ekspresi Saman kembali seperti semula. Mala merasa
tak enak hati. Ia menyesal, lalu mengejar Saman yang berlalu ke kamar tanpa
bersuara. “Bang, aku minta maaf, baiklah kalau….” Langkah Saman terhenti, “Tak
usah, abang sudah tak bergairah!”
“Bang….maafkan adek!” Saman melesat ke kamar, lalu menghempaskan tubuh ke kasur. Mala merasa tak puas, ia terus berusaha. “Bang, Ayok! Aku mau! Adek gak jadi tidur!” Saman tak bergeming. “Bang…..hiks!” Saman bangkit, “Dengar, kalau kamu memang tak mau bilang saja! Tak usah pakai alasan segala! Lagian saya kan sudah bilang, tak bergairah lagi! Dengar!” Mala menggigit bibit. Saman kembali membaringkan badan. Mala benar-benar menyesal telah merusak suasana. “Bang, abang..maaf….” Saman menutup telinga dengan bantal. “Jangan seperti anak kecil, Mala!” Mala naik pitam, kelelahan yang teramat besar ditambah kesedihan mendalam karena sikap Saman membuatnya kalap. “Bang Saman, sebenarnya yang seperti anak kecil siapa? Ha? Kau berubah sejak tiga bulan lalu secara tiba-tiba! Tanpa alasan yang jelas kau selalu bertingkah seperti orang lain! Kata-katamu kasar! Sikapmu bahkan lebih rendah dari bocah ingusan! Malam ini, katakan! Katakan bang! Apa salahku hingga kau berubah begini! Katakan jika kau membenciku! Atau sekalian saja ceraikan aku! Talak aku bang! Hiks….hiksss! Mala meraung. Berteriak-teriak seperti orang gila. “Plak!” Satu tamparan keras melayang di pipi basah Mala. Mala terhuyung. Pingsan. Paginya ia menemukan diri terbaring di kasur dengan ditemani sepucuk surat terlipat rapi di sisinya.
“Bang….maafkan adek!” Saman melesat ke kamar, lalu menghempaskan tubuh ke kasur. Mala merasa tak puas, ia terus berusaha. “Bang, Ayok! Aku mau! Adek gak jadi tidur!” Saman tak bergeming. “Bang…..hiks!” Saman bangkit, “Dengar, kalau kamu memang tak mau bilang saja! Tak usah pakai alasan segala! Lagian saya kan sudah bilang, tak bergairah lagi! Dengar!” Mala menggigit bibit. Saman kembali membaringkan badan. Mala benar-benar menyesal telah merusak suasana. “Bang, abang..maaf….” Saman menutup telinga dengan bantal. “Jangan seperti anak kecil, Mala!” Mala naik pitam, kelelahan yang teramat besar ditambah kesedihan mendalam karena sikap Saman membuatnya kalap. “Bang Saman, sebenarnya yang seperti anak kecil siapa? Ha? Kau berubah sejak tiga bulan lalu secara tiba-tiba! Tanpa alasan yang jelas kau selalu bertingkah seperti orang lain! Kata-katamu kasar! Sikapmu bahkan lebih rendah dari bocah ingusan! Malam ini, katakan! Katakan bang! Apa salahku hingga kau berubah begini! Katakan jika kau membenciku! Atau sekalian saja ceraikan aku! Talak aku bang! Hiks….hiksss! Mala meraung. Berteriak-teriak seperti orang gila. “Plak!” Satu tamparan keras melayang di pipi basah Mala. Mala terhuyung. Pingsan. Paginya ia menemukan diri terbaring di kasur dengan ditemani sepucuk surat terlipat rapi di sisinya.
Teruntuk Nurmala
Assalamu’alaikum
Maaf, atas segala sikapku yang menyakitimu…
Maaf, atas segala sikapku yang menyakitimu…
Maaf atas dosaku yang begitu besar
hingga membuatmu terzalimi selama beberapa bulan ini. Sungguh, aku telah
berupaya agar dapat mencintaimu dengan tulus. Namun, bayangan almarhum Syifa
tak pernah lekang dari ingatan. Baru kusadari, selama ini aku hanya terlena karena
kemiripan yang ada padamu dengan Syifa. Aku tak dapat mencintaimu, Mala. Aku
tahu ini salah. Tapi, kita baru saja menikah. Aku dilema oleh kegelisahan ini.
Hingga akhirnya bermuara pada sikapku padamu yang berubah. Aku tak ingin
mambuatmu semakin tenggelam dalam harapan palsu. Namun, yang terjadi justru kau
tersakiti. Maafkan aku, Mala.
Aku bingung mencari solusi untuk
masalah ini. Selama tiga bulan aku merasa dihantui rasa bersalah karena
bersikap keras padamu. Tapi, kau terus saja bertahan. Oleh karena itu, semalam
aku ingin segera menghentikan semua ini. Aku tak ingin kau lebih lama lagi
terluka. Aku sengaja pulang telat tadi malam. Dengan begitu kutahu, kau pasti telah
sangat lelah. Kau tentu akan menolak bila aku minta untuk melakukan itu. Oleh karena itu, aku sengaja
melakukannya untuk memancing amarahmu, lalu meminta cerai. Dan, itu berhasil.
Betapapun, kau tak salah, Mala. Aku
yang salah! Aku yang jahat! Aku yang berdosa! Kuharap dengan kita berpisah, kau
akan terlepas dari penderitaan bersamaku. Aku yakin, cepat atau lambat, kau
akan menemukan kebahagiaanmu. Aku akan selalu mendoakanmu. Wassalam
“Kriiiiing!”
Suara telepon genggam itu memecah lamunan Mala. Wajahnya telah bersimbah air
mata. Ia tolak panggilan itu. Lalu bangkit dari tempat duduk. Pulang.
keren li cut,,
BalasHapuskapan nih sambungan nya segera tayang??
hahaha maunya gituuu tp penyaket malas neeeeee huhuhu
Hapus