Sabtu, 19 Desember 2015

Aku Yang


Aku kitab yang lusuh
ringkih di sudut debu
gumul dengan sepi
ciut dalam sisa harapan yang sia      

Aku tasbih yang rusak
terserak di lorong gelap
tertimpa bangkai
dikerubuni makhluk-makhluk lapar

Aku sajadah yang lembab
baring di lantai lumpur
genangan kering membusuk
menyeruak seisi ruangan

Aku genteng yang bocor
disengat surya
dipagut bayu hingga gigir
hujan sesekali mengobati luka
karat yang kian melebar

Aku jendela yang retak
sebagianku terserak di tanah
sebagian lain bebercak merah
tersentuh kulit si kumis berbulu
kala tengah berburu

Aku lantai yang lumpur
kerikil kecil
bangkai plastik
dedaun kering
ditinggal banjir yang singgah tahun lalu

Aku, cinta yang hilang
tertutup kepulan asap pabrik
terhalang tirai hedonis
tertelan pusaran materialis

Aku, kasih yang pupus
tergerus arus
tertelan virus
mampus

Lampriet, 16 September 2015
Cut Atthahirah, mahasiswa MPBSI Unsyiah, Pegiat FLP Banda Aceh

Dimuat di Serambi Indonesia edisi 11 November 2015












Selasa, 15 Desember 2015

Bukan Soal Kabut



www.theflickr.com


Entah lah!
Entah dari mana dingin ini
sungguh lah!
sungguh gigir
namun, bukan soal gigir
melainkan pemandangan di depan

Entah lah!
entah dari mana kabut itu
sungguh lah!
sungguh pekat
namun, bukan soal pekat
tapi penglihatan di depan

Anak dengan wajah lusuh itu berkata lagi
“Hentikan! Aku mohon hentikan!”
ada getir di ujung getar
tak mampu
ia tak mampu menghentikan
hanya dengan menyentuh udara
setiap detik ia merasa makin dekat dengan kematian
politik yang jijik,
pengusaha picik,
pejabat tuli, buta, bisu, sampah!
agamawan salah arah,
rakyat salah kaprah,
dunia pongah,
udara Seuramoe Mekkah masih dingin
langit Tanoh Rencong masih kabut
gigir!
gelap!

Banda Aceh, 1 November 2015




Wu ci Lung : Kucing "On The Spot"

Aku memang suka kucing. Ya..., walau baru sampai tahap lihat-lihat, ajak-ajak bicara dan kasih makan dan sesekali menggoda mereka. Belum berani pegang-pegang.
Nah, di rumah saudara yang kutempati sekarang, aku terpaksa intens ketemu makhluk berkumis itu. Pasalnya, sepupu-sepupuku senang sama hewan imut itu. Dan, ada kisah yang ingin dibagi sedikit tentang kucing-kucing di rumah ini.
Jadi, awalnya hanya ada seekor kucing berwarna kuning kecokelatan yang diberi nama "Wu Ci Lung" oleh sepupu-sepupuku. Badannya sehat, berisi. Matanya agak sipit. Mungkin karena itu ia diberi nama "Wu Ci Lung." Saat pertama dia datang ke rumah ini, kondisinya sangat memprihatinkan dalam arti lain, kayak sakau gitu-alias ngantok ga jelas. Haha. Lama-lama, diberi asupan gizi serta kasih sayang yang penuh dari sepupu-sepupuku hingga ia menjadi segar dan bersemangat. hehe. 
Yang bikin kami senang adalah dia suka makan apa saja. Mau itu roti, biskuit, timphan, bakwan, kuning telur, de el el, lenyap sekejab dalam perutnya. haha. Oleh karena itu lah aku menjulukinya "Kucing Ont The Spot" haha. Kerjaan dia hanya makan dan tidur...sesekali ia travel ke luar, entah ke mana. Yang jelas, ia tak pernah berkelahi.

Namun, keadaan mulai berubah saat kedatangan seekor kucing betina bersama bayi laki-lakinya yang telantar ditinggal suaminya. Si "Wu Ci Lung" yang memang baik hati dan tidak sombong pun mengajaknya untuk tinggal bersamanya di rumah ini. Singkat kisah, beberapa pekan setelahnya, datang lah seekor kucing garong yang suka mengganggu kucing betina. Entah itu mantan suaminya atau kucing lain yang memang ingin mengganggu kucing betina. Nah, "Wu Ci Lung" yang jantan, ia pun bermaksud menolong kucing betina. Ya, jadi lah "Wu Ci Lung" yang semula tidak pernah berkelahi, ya jadi berkelahi. Dan, itu terjadi berkali-kali selama beberapa pekan. Kesalnya, gegara itu, "Wu Ci Lung" kini sudah berubah, mukanya banyak luka-luka, badannya kurus. Ia pun sekarang jadi milih-milih makanan, gak kayak dulu lagi.
Beberapa waktu lalu, sejak kedatangan kucing garong, Wu Ci Lung seakan ga mau jauh dari kucing betina. Ia selalu mengekor ke mana kucing betina pergi seolah takut kucing betina sewaktu-waktu diganggu kucing garong. Sementara bayi kucing betina semakin hari semakin menggemaskan, ia sepupuku beri nama Cing Cing. Kalau emaknya berwarna hitam eksotis, anaknya berwarna belang tiga.
Yang aku salutkan, tak pernah sekali pun kulihat Wu Ci Lung mengganggu kucing betina. Ia seperti menyimpan sebuah rasa yang tulus. Itu terlihat dari tindakannya. Wu Ci Lung sejak dlu tak banyak bicara kecuali saat lapar. Ia memang kucing yang cool, tapi sangat jantan. Hehe. Cing-Cing pun seakan tak kurang kasih sayang, karena di sisinya ada seorang lelaki yang dianggapnya sebagai bapak walau kini masih dipanggil "Paman Wu Ci Lung". Maklum, hati ibu Cing Cing belum terketuk. Traumatis akibat ditinggal suami saat hamil mungkin menjadi musabab ia menutup rapat hatinya. Oleh karena itu, Wu Ci Lung pun hanya bisa sabar hingga hati Ibu Cing-Cing terbuka untuknya. Ya, siapa sangka, cinta bisa tumbuh seiring waktu? 
grin emoti

Kamis, 27 Agustus 2015

Sapa Aku di Syurga

Sebagai orang yang hidup dalam lingkungan kebahasaan, saya bersyukur memperoleh suatu ilmu yang tidak dimiliki oleh semua orang tentunya. Bukan hanya saya tapi juga teman-teman yang juga berkecimpung di dunia kebahasaan ini. Ya, yang namanya juga sudah nyemplung, ya udah kepalang basah. Apa yang sudah kami telan ya akan tumbuh dan mendarah daging dalam jiwa kami. Sederhananya, banyak sekali hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang menurut kami bertentangan dengan naluri kebahasaan kami. Hal tersebut sering menjadi masalah tersendiri bagi kami. Contoh kecil yang juga terjadi di kehidupan sehari-hari yakni terkait “sapaan akrab”.
  • Sebut saja nama mereka Jenong dan Sinus. Jenong dan Sinus merupakan mahasiswa yang kuliah di fakultas, jurusan dan kelas yang sama. Suatu hari, mereka hendak menyeberang jalan. Secara kebetulan, di seberang ada Bu Attha yang tidak lain ialah dosen keren dan beken di kampus mereka. Menyadari pertemuan yang sangat langka ini, Jenong dan Sinus pun tak tinggal diam. Mereka segera memanggil “Bu Attha!” Bu dosen cantik itu pun mengurungkan niatnya menaiki Jazz Silver yang terparkir di pinggir jalan. “Iya, Jenong dan Sinus, apa kabar?” Jenong dan Sinus lantas menyalami Bu Attha. “Alhamdulillah baik, Bu Attha, “Jawab mereka serentak. “Bu Attha hendak kemana? Besok kita ada kelas. Bu Attha bisa masuk, kan?
Nah, contoh kalimat “Alhamdulillah baik, Bu Attha, “Jawab mereka serentak. “Bu Attha hendak kemana? Besok kita ada kelas. Bu Attha bisa masuk, kan? merupakan contoh sapaan yang salah. Seharusnya, penyebutan “Bu Attha” pada kalimat itu diganti dengan “Ibu”. Hal itu dikarenakan oleh percakapan mereka yang dilakukan secara langsung. Tidak diperbolehkan untuk menyapa secara langsung dengan menyebut kata ganti lalu diikuti nama yang bersangkutan (Contoh: Bu + Attha). Lain halnya pada kalimat Mereka segera memanggil “Bu Attha!” Bu dosen cantik itu pun mengurungkan niatnya menaiki Jazz Silver yang terparkir di pinggir jalan. Memang, sapaan tersebut juga dilakukan secara langsung, namun secara pragmatik atau sederhananya kontekstual, itu diperbolehkan. Hal itu disebabkan oleh situasi yang tidak memungkinkan bagi si pemanggil hanya menyebut kata ganti orang. Bisa jadi, ada ibu-ibu lain yang kebetulan lewat di sekitar lokasi percakapan. 
  • Panggilan sapaan langsung “Adek” atau “Abang” antara lawan jenis yang belum mahram. Untuk sebagian kalangan, mungkin ini hal biasa dan diperbolehkan. Namun, saya yakin, untuk sebagian besar kalangan, ini risih untuk dilakukan. Panggilan “Adek” atau “Abang” sah dilakukan ketika sepasang lelaki dan perempuan tersebut telah menikah. Hal itu tentu akan menambah rasa akrab dan kasih sayang di antara keduanya. Namun, untuk pasangan nonmahram? Saya rasa alangkah lebih indah bila disebut “Dek+nama” atau “Bang+nama” atau “nama” saja.
  • .   Ini berlaku untuk siapapun yang sedang memadu kasih tanpa ikatan agama. Sering kita mendengar istilah “Papi-Mami, Umi-Ubi, Pipi-Mimi, Kanda-Dinda, Manda-Panda, Bebeb-Ayam, de el el. Saya tidak ingin berkomentar secara serius dalam kajian agama maupun kebahasaan. Toh, saya yakin kita sudah sama-sama dewasa. Sudah tahu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hanya saja, satu hal yang saya sarankan, alangkah indah bila dipanggil kumbang-kembang, daripada bebeb-ayam…:p atau panggilan lain yang wajar-wajar saja untuk didengar. ^_^

Itu hanya salah tiga contoh dari salah satu contoh pembahasan tentang ungkapan sapaan akrab. Belum lain-lain. So, semua orang bisa berbahasa Indonesia tapi tidak semua orang bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar! Salam Beretussss! ^_^  

Heran ya, judulnya ga nyambung? Samaaa, saya jugaaa! Hahaha :D






Rabu, 26 Agustus 2015

Di Teras Rumah Yura

Namanya Yura. Nama yang terlalu singkat untuk seorang gadis berbadan bongsor seperti dia. Sejak kecil, orangtua Yura senang memberinya makanan apapun, baik ringan maupun berat. Yura pun akan melahapnya dengan ikhlas dan lapang perut. Eh.

Walau bongsor, Yura beruntung memiliki warisan kulit yang putih dan bersih dari Ibunya. Sementara wajah khas Jepang pun ia peroleh dari bapaknya. Ya. Yura memang keturunan Jepang. Ayahnya adalah lelaki Jepang yang saat mudanya bertugas di Indonesia. Pertemuan bapak dan ibu Yura terjalin saat Bapak Yura pertama kali makan siang di warung tegal milik kakek Yura. Dan, ibu Yura lah yang melayaninya saat itu. Dari mata turun ke hati, bapak Yura pun melamar ibu Yura setahun kemudian setelah sebelumnya belajar islam secara intensif dan masuk islam dua bulan sebelum pernikahan berlangsung.

Yura kini tumbuh menjadi seorang gadis. Ia yang merupakan anak tunggal tentu menjadi kesayangan kedua orangtuanya. Apapun yang ia minta, tentu ia dapatkan. Namun, kedisiplinan juga menjadi syarat utama dari sang bapak. Maka, walau dimanja, ia juga dilatih untuk disiplin dalam segala hal. Dan itu membekas dalam darahnya hingga dewasa. Di balik kedisiplinannyan, Yura juga tumbuh menjadi anak yang hangat dan ceria. Mungkin asupan cinta kasih dari orang tua musababnya. Hingga perubahan pun terjadi dikarenakan suatu hal yang terjadi di kemudian hari.

Suatu sore yang hangat. Yura duduk sendiri di teras rumah sembari menatap kosong ke arah kebun rumah. Sang ibu rupanya menangkap sinyal aneh dari anak semata wayangnya. Yura lantas tak sadar bahwa ibu telah duduk di kursi sebelahnya. Ibu tak lantas menegurnya. Ibu membiarkan Yura menikmati lamunanya. Hingga akhinya… “Ibu?” Ibu tersenyum melihat Yura yang tersadar. “Sejak kapan Ibu duduk di situ?” Ibu lagi-lagi hanya tersenyum.

Esoknya, Yura kembali duduk di teras rumah. Ia kembali menatap kebun. Dilihatnya sepasang kupu-kupu yang terbang kian kemari. Sesekali hinggap di salah satu bunga lalu terbang lagi. Mereka berkejar-kejaran layaknya sepasang kekasih. Sesaat setelah itu, ia merasa bahwa ada orang yang memerhatikanya dari dekat. “Oh ternyata Ibu? Sudah lama Ibu di sini?” Ibu hanya mengangguk pelan sembari tersenyum.


Hari keempatpuluh. Yura seperti merasa keenakan duduk, menghabiskan sore hingga senja di pelataran rumah itu. Pemandangan hijau yang membentang indah di depan mata seolah senantiasa memanjakan mata. Sore itu kebetulan hujan. Yura semakin asyik dengan dua gelas kopi menemaninya. Lantunan musik Jepang tempo doeloe juga menambah sentimental suasana. “Ibu, lihatlah hujan semakin deras, ini kopinya diminum, Bu. Mumpung masih hangat. Aku sendiri yang membuatnya.” Dari kejauhan Ayah Yuri menatap nanar. Ada sekeping luka di hatinya.   

Selasa, 25 Agustus 2015

Femmy, Oh, Femmy...

Senja yang sendu. Udara kering menghempas dedaunan kuning kecokelatan yang terserak di tanah. Jalanan lengang. Di bawah pohon mangga, sebuah kursi taman terpatri dan seorang gadis duduk di atasnya. Muram menggelayut di wajah pucatnya. Gelisah terpancar dari sorot mata kosong. Femmy, begitu ia akrab disapa, belakangan sering sekali menyambangi taman itu. Dan kursi taman berbahan besi itu menjadi favoritnya.

Dua bulan yang lalu ia baru saja datang ke tempat itu. Seperti hari-hari sebelumnya, ia hanya membawa diri dengan satu tas mungil berisikan handphone, bedak, lipstick dan dompet. Saat itu ia memakai baju rajutan berwarna pink lembut, rok payung hitam spandex dan jilbab paris dengan warna senada. Femmy memang senang sekali menyendiri, dan paling sering di tempat itu. Di sana ia dapat mencurahkan segala rupa isi hati. Tak jarang pula ia menelurkan berbagai puisi indah. Di taman itu, ia kerap merasa nyaman dan mendapat kehangatan.

Semua itu sempat hilang, manakala sebuah hari datang. sebuah hari yang senantiasa meneteskan buliran rindu di tiap harinya pada taman itu. Sebuah hari di mana ia terjerat dengan kondisi yang memaksanya untuk tidak dapat berjalan bahkan merangkak ke taman itu. Femmy, gadis berusia delapan belas tahun itu divonis kanker otak stadium empat. Femmy yang kerap tertutup terhadap siapapun menyebabkan penyakitnya itu tak terdeteksi oleh siapapun, termasuk dirinya sendiri. Femmy memang sering merasakan sakit di kepalanya secara tiba-tiba. Namun, ia selalu meredamnya dengan minum pil anti nyeri. Setelah beristirahat sebentar, ia pun merasa bugar kembali. Namun, naas, setiap rasa sakit itu muncul, tak pernah ada orang terdekat berada di sampingnya.

Femmy, sejak kecil memang hidup mandiri. Rumah besar, pembantu banyak tak cukup membuat Femmy bahagia. Kasih sayang lebih yang seharusnya ia dapatkan sebagai putri tunggal justru terenggut oleh kesibukan kedua orangtuanya. Malang nasib Femmy, ia menjadi tertutup sejak kecil. Sekolah pun ia terpaksa  homeschooling, bersebab orangtua tak sempat mengurusi urusan di sekolah formal. Pribadi tertutup pun semakin terbentuk pada diri Femmy hingga ia remaja.

Hari ini, Femmy kabur dari pembaringan. Femmy tak betah lagi berdiam di kamar. Femmy pergi dengan badan lemah. Ia tergopoh dengan kucuran keringat dingin terus mengalir di wajah. Tak perduli, Femmy tetap berjalan hingga ia berhasil duduk kembali di kursi kesayangannya itu. Ditariknya nafas perlahan. Dihirupnya udara begitu segar memenuhi rongga hidung dan tenggorokan. Ia merasakan suatu sensasi kelegaan. Walau bibir itu belum mampu menyunggingkan senyum tapi setidaknya batinnya sedikit terobati.


Tak lama, Femmy merasakan kantuk luar biasa, Femmy pun mengambil posisi untuk tidur pada kursi. Badannya yang mungil cukup nyaman untuk direbahkan pada kursi. Dalam sekejap, Femmy terbang ke dunia lain. Dunia yang ia sendiri tak tahu itu di mana. Dunia yang ia sendiri tak tahu apa namanya. Yang jelas, di sana ia dapat melihat begitu banyak sosok hangat menyambutnya, mengulurkan tangan padanya, dan mengucapkan salam padanya. 

Minggu, 28 Juni 2015

Sabar dan Syukur

Beberapa hari lalu, aku bertemu dua orang temanku di pustaka FKIP. Entah sebuah kebetulan. Mereka sama-sama memakai gamis hijau. Sama-sama duduk di hadapanku. Bedanya, yang satu setengah berbaring di sofa seberang. Sementara yang satu duduk bersila tepat di sebelahku. Sebut saja nama mereka Bunga dan Kembang.

Bunga dan Kembang tidak hanya memiliki kesamaan dalam hal busana hari itu. Mereka ternyata juga memiliki masalah yang nyaris sama. Sama rumitnya. Bunga yang tak kunjung bisa mengikuti sidang karena 11 mata kuliahnya yang belum terdaftar di online. Sementara Kembang belum bisa sidang karena kedua dosen pembimbingnya adalah doktor (Jadi, sama-sama sibuk selalu katanya).

Malang memang nasib Bunga dan Kembang. Awalnya mereka disambut dengan begitu mesra di kampus tercinta mereka itu. Tapi, kini mereka malah dipersulit untuk bisa keluar dari tempat itu. Yahh, barangkali tempat itu terlalu cinta pada mereka sehingga enggan membiarkan mereka pergi begitu cepat. Tapi, justru hal itu mengundang murka mereka hingga muncul komitmen yang terlontar dari luapan emosi "Awak gak mau S2 lagi di siniii!!!"Aku sempat tertawa mendengar itu. Pasalnya, dulu aku juga sempat berkata demikian pula, Eh, nyatanya? Kini, aku tengah mempersiapkan proses menuju tes seleksi di sini.

Intinya, bukan mencari siapa salah-siapa benar. Hanya ingin sedikit berbagi. Dalam hidup, semakin berkurang usiaku, semakin banyak dalil-dalil akli yang kuperoleh. Salah satu yang paling sering kutangkap adalah tentang adanya masalah yang dicipta untuk mendewasakan kita. Dan. semakin tinggi tingkat kesulitan hidup yang dilalui, insyaAllah, jika kita ikhtiar dan tawakkal dalam melewati itu semua, maka kesuksesan di masa mendatang menanti.

Tak jarang aku tersenyum manakala mendengar secara langsung keluhan-keluhan teman-temanku. Aku tersenyum karena merasa bahwa ternyata kesulitanku belum ada apa-apanya dibanding mereka. Maka aku mengambil iktibar dari itu semua. Aku semakin bersyukur bahwa Allah masih memberiku limpahan rahmat dan nikmat walau aku senantiasa mengeluh dan mengeluh.

Terkadang aku teringat akan masa-masa biru putih yang membiru. Masa di mana aku begitu bersemangat dalam penantian hari-hari sekolah. Masa di mana aku selalu bersemangat menanti datangnya guru mata pelajaran apapun di kelasku (termasuk MTK yang paling kusegani tentunya). Hari-hari ketika minggu ujian menjadi masa terpanjangku berkutat di kamar bersama setumpuk buku. Lalu esoknya aku akan tetap berkutat dengan buku bahkan hingga bel masuk. Keluar paling akhir karena sudah mengecek ulang soal hingga berkali-kali. Hari-hari di mana aku dengan lapangnya memberi contekan pada teman-teman dekatku. Hingga berakhir pada satu hari di mana aku akan tersenyum lebar-lebar karena menyantap ranking 1.

Sekarang? Mengapa aku justru menanggap itu sebagai sebuah mimpi untuk diraih kembali? Sukar rasanya untuk bisa belajar seserius dan setotal itu kini. Sukar pula bagiku untuk segera merampungkan tugas-tugas segera agar esok pagi aku tinggal duduk manis di depan kelas menanti sosok idaman hati yang kupandang dari pintu gerbang, sepanjang koridor, lapangan, hingga berakhir saat kepalanya tertelan pintu kelasnya.

Sekarang? Ke mana semangat itu? 100 target pun yang kubuat selama 100 x rasanya sulit untuk kucapai. Semua itu tinggal menjadi catatan-catatan yang kubaca setelah beberapa bulan kemudian. Apa karena banyaknya hal yang kulakukan setiap harinya? Atau karena begitu banyaknya masalah yang harus kuselesaikan? Entahlah. Aku yakin, hati ini tahu yang sebenarnya.

Padahal, ruang gerakku begitu memberi peluang saat ini. Ya, itu juga buah dari kenekatanku. Memang, ada penyesalan di depan, namun lebih kepada kesyukuran karena akibat nekat, aku bisa sampai pada tahap ini. Mengenal orang-orang hebat, bahkan lebih dari itu. Lagi-lagi, aku lupa bersyukur. Hanya karena aku merasa seharusnya aku bisa melewati batas-batas yang kubayangkan bila aku masih memegang prinsip biru-putih itu. Hmm. Andai boleh berandai-andai...

Tulisan ini memang random, ejaan gak betol, paragraf gak koheren dan kohesi...acak adut... awut-awutan, beserak atau apa lah namanya! 
biarlah! memang niatnya cuma ingin curah hati... ingin nulis... ingin berbagi...


So, ya...sorry dorry strwberry...

Sabtu, 13 Juni 2015

“SERIAL LAILA, MALA, DAN SELA” (Petualangan Pencarian Jati Diri)


TAK KENAL? MAKANYA, TA'ARUF DULU...,YUK!



Ini merupakan serial yang gak seru, gak keren, yaa.. biasa-biasa aja. Jadi, kok si penulis PD banget, ya,  nge-posting ini cerita? Ya, gak kenapa-kenapa, sih! Suka-suka aja! Masalah buat loe? Kalau mau baca, silahkan! Kalau gak suka, pergi sana! Gukk…gukk…gukk! (Loh?)

Langsung aja dah, kelamaan basa-basi, ntar malah jadi basi beneran lagi!

Serial ini berkisah tentang tiga ababil alias ABG labil yang baru tamat dari SMA dan hendak ngelanjutin pendidikan ke perguruan tinggi. Ya. “Universitas Jantong Hatee” adalah pilihan. Letaknya yang di ujung Sumatera sebelah barat mengharuskan ketiga cewek ini keluar dari sarangnya dan berhijrah ke sana. Sekedar tahu, mereka tidak berasal dari daerah yang sama. Laila berasal dari pelosok Aceh Utara, Mala dari pesisir Aceh Selatan dan Sela, gadis turunan Aceh lahir dan besar di kota metropolitan-Medan.

Nurlaila yang merupakan gadis pertama pemakai kacamata di kampungnya ini sejak SMP jatuh hati dengan pelajaran IPA. Awalnya, ia suka karena guru pelajaran tersebut tidak lain adalah first love dia. (Duileee :D) Yaa…, walau malang nasib Laila sebab cintanya yang bertepuk sebelah tangan sejak kelas 1 SMP hingga kelas dua SMA itu harus pupus karena sang guru mengakhiri masa lajangnya bersama salah satu guru muda yang baru mengajar di SMP-nya saat ia telah duduk di bangku SMA. (Kaciaan… L) Biarpun begitu, Laila sudah terlanjur jatuh hati dengan IPA. Ia kerap menang mengikuti kompetisi cerdas cermat IPA antar dusun, kampung hingga kecamatan. Makanya, saat berhasil membujuk sang ayah untuk bisa kuliah di UJH itu, segera  ia memilih Sains di urutan terdepan.

Sedang Mala alias Cut Malahayati, lahir sebagai gadis pesisir yang telah akrab dengan dongeng-dongeng leluhur sejak kecil. Nenek moyang Mala yang notabene memiliki catatan sejarah sebagai nelayan yang akrab dengan mantra-mantra sebelum datangnya islam berpengaruh pada para cucu hingga cicit. Mulai dari kakek dan nenek, ibu, ayah hingga ia dan sepupu-sepupunya mahir bersyair. Tak heran, satu buku harian Mala penuh dengan puisi dan cerita pendek kental sastra. Kamarnya pun dipenuhi puisi-puisi artistik yang ia kreasikan sendiri. Bersebab tak ada jurusan sastra murni di Aceh lantas tak mendapat izin merantau ke luar Aceh, tak heran, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi urutan pertama dalam daftar pilihan tes masuk PTN UJH.


Siti Sela Dara Phonna, anak sulung dari tiga bersaudara. Lahir dan besar di Medan. Walau demikian, Ayah dan Ibunya selalu menanamkan nilai-nilai islam dan budaya Aceh terhadapnya dan adik-adiknya. Lantas, usai melaksanakan UN, Ayah langsung to the point, meminta Sela untuk kuliah di UJH, Banda Aceh. Sela si sulung yang memang penurut abis, ya nrimo aja. Lempeng kayak jalanan baru diaspal. Berbeda dengan Laila dan Mala, Sela tak mendapat kepercayaan untuk memilih jurusan yang ia impikan, IT. Bukan karena orang Medan banyak yang suka dengan jurusan Hukum, atau karena kedua orangtua Sela yang keduanya adalah Sarjana Hukum. Hal ini disebabkan karena minimnya kepercayaan orangtua kepada Sela dalam memutuskan sesuatu tentang hidup Sela. Sela…Sela…kasian…kasian… mau jadi apa si sulung pendiam ini kalau nanti ia jadi kuliah di jurusan yang mengharuskan setiap mahasiswanya untuk banyak bicara itu? (-_-") Allahu'a'lam.

Selasa, 31 Maret 2015

My Jepreeeet!

Lampuuk Tebing

Banana Boat Lampuuk

Lampuuk sea

Jamboe Lampuuk

Sunset Ulee Lhee

Taman Hutan Kota BNI

Menara Oman Banda Aceh

Masjid Oman Banda Aceh

home sweet home

Langit memayungi mesjid


kupu-kupu di tepi jalan

Selasa, 24 Februari 2015

Cerbungsing (Insomnina)

Jalanan lengang. Tak ada deru kendaraan hingga desir angin terdengar. Seharusnya malam ini damai. Dn aku dapat istirahat dengan tenang. Namun, pada kenyataannya tidak begitu. Aku justru dilanda kecemasan luar biasa. Tak pernah sebelumnya aku mengalami perasaan seperti ini. Istilah remaja masa kini "galau". Entahlah! Saat ini, aku hanya ingin satu hal, yakni tidur secepat mungkin dan terbangun esok subuh dengan lesapnya kegalauan di pikiran ini. Oh, Allah... mengapa bisa? Lagi-lagi. Pertanyaan itu keluar dari hati sanubari terdalam.

Tuk..tak..tuk.. Suara jarum jam terus berdetak, aku masih belum menemukan gejala dari hal yang menimpaku saat ini. Ini malam kesekian di mana aku telat tidur. Jujur, aku sudah seminggu tidak mengonsumsi kopi sejak kurasa denyut jantungku berdetak kencang sore itu. Malamnya, mataku pun melek hingga subuh. Luar biasa! Maka tak ada jawaban pasti mengapa aku sulit tidur beberapa hari ini. Aku bingung. Dan, kuputuskan untuk membuka laptopku. Lalu...

to be continued...

Sabtu, 21 Februari 2015

Di sini, di HIPISA


Di sini aku belajar mencintai
mencintai sesama
mencintai agama

Di sini aku belajar patuh
patuh terhadap peraturan
patuh terhadap Al-quran

Di sini, aku sempat nelangsa
membuang masa lalu kelam
Di sini, aku mulai terbiasa
mendirikan shalat malam

HIPISA
Katanya pesantren SMA Negeri 1 Langsa
Kerudungnya panjang luar biasa
Duha pada jam istirahat menjadi biasa
Bicara dengan lawan jenis dijaga sebisa
Agar tak timbul rasa-rasa

HIPISA
Katanya majelis ilmu agama SMA Negeri 1 Langsa
Jumat diisi rohis putri, sabtunya untuk putra
ilmunya banyak, uztadnya ceria

HIPISA
katanya tauladan di SMA Negeri 1 Langsa
tutur katanya santun budinya luhur
berjumpa guru tak lupa salam
jumpa teman sejawat selalu senyum

HIPISA
katanya pendakwah sejati
pengukir sejarah islami
dulu, HIPISA pendobrak sejarah penggunaan hijab seragam
dulu, HIPISA pendobrak sejarah penggunaan baju kurung untuk wanita
kini, HIPISA masih berdiri tegak di garda terdepan
kini, HIPISA masih berjaya
mengukir kisah
memahat kasih






Senin, 09 Februari 2015

Mereka Bilang Aku Maco


Namaku Cut Atthahirah. Usiaku menginjak 23 tahun. Dalam hitungan hari, aku akan melangsungkan akad wisuda. Alhamdulillah. Banyak kenikmatan yang telah Allah limpahkan. Namun, sebagai manusia hina lagi dina, kuakui bahwa masih sering terbesit keluh kesah di hati serta sikap dan perkataan yang mencerminkan ketidaksyukuranku. Mungkin, judul dari tulisan ini salah satunya.

Beberapa hari yang lalu, sebuah organisasi kepenulisan ternama yang berpusat di Indonesia dan memiliki cabang hampir di seluruh negara di dunia mengadakan sebuah acara besar. Workshop Nasional dan Launching Buku. Di sana, tamu yang hadir cukup banyak dan variatif, mulai dari siswa, santri, mahasiswa hingga orang tua. Singkat kisah, waktu istirahat tiba. Aku, sebagai salah satu panita beserta yang lainnya menunaikan salat.

Saat di kamar mandi, aku bertemu tiga santriwatiku yang baru selesai berwudu. Di sela kesibukan mereka memakai kerudung, manset, bros hingga kaus kaki, terselip kalimat, “Kak Cut maco, ya! Tapi keren! Suka suka!” Sontak aku kaget. Seingatku, kami baru empat kali bertatap muka. Pertama, saat kunjungan mereka ke markas kami; kedua dan ketiga di dayah mereka, dan keempat di sini. Aku tak banyak komentar sebab kepalaku dipenuhi keheranan mendalam, “Ternyata…Ohh My Allah”.

Jujur, ini kali kesekian. Dan, aku tak pernah mau menghitungnya. Aku pernah mengajar di beberapa sekolah di kota besar ini. Pernah di SMKN Penerbangan Aceh, SMAN 3 Banda Aceh, SMPN 18 Aceh, Lab School, Darul Ulum, SMK 3, SD 50, LBB PHI-BETA hingga RIAB. Dan, banyak sekali kesan yang kuperoleh dari semua tempat itu, salah satunya sebutan bahwa aku tomboy, maco, cem lakik, reper, keren, dan sejenisnya. Hahaha. Aku merasa heran pada diriku sendiri dan bertanya dalam hati, "Bukankah dulu hal ini merupakan salah satu impianku?

***
Dulu, beberapa waktu lalu, tepatnya saat aku duduk di bangku SD. Aku senang melihat cewe-cewe tomboy. Cewe yang sedang bermain basket, polwan, kowad, dan semacamnya. Aku suka melihat gaya mereka. Gaya mereka berbicara yang tegas dan tidak lembek. Gerakan mereka yang cepat dan cara mereka bergaul dengan sesama maupun lawan jenis begitu luwes, tidak kaku. Cara mereka berjalan, berpakaian, hmm. Hingga suatu waktu terbesit di hati bahwa aku ingin seperti mereka tapi rasa-rasanya tidak mungkin melihat kondisiku yang mencla mencle. Ya. Hanya sampai di situ aku berharap. Hanya sekali. Tapi, tak kusangka berefek luar biasa di kemudian hari.

Mulai saat itu, aku tak sadar bahwa hal-hal berbau feminim sangat kuhindari. Ya, walau aku masih senang mengoleksi benda berwarna pink namun cara berbicara, berjalan, makan, dan lain-lain sebisa mungkin aku lakukan selayaknya laki-laki. Perlahan aku lebih suka memilih tas ransel pendaki gunung untuk dibeli saat hendak masuk tahun ajaran baru. Aku suka celana gombrang. Jujur, aku tak sadar dengan semua perubahan kecil-kecil itu. Hingga untuk pertama kali, salah seorang kerabat yang telah lama tak kukunjungi berkata, ”Wah, dek Cut tomboy kali, kok? Haha.” Saat itu tentu reaksiku heran bercampur senang. Saat itu aku duduk di bangku SMP. Dan kemudian terus berlanjut hingga kini.

Ayah dan Ibu? Mereka sudah lelah mengarahkanku. Ayah bahkan kerap memukul pelan dengkulku dengan sendok kala menemukan kaki kiriku kulipat berdiri di atas kursi. Mamak tak bosan mengingatkanku untuk berjalan dengan bagus. Ayah pernah bilang, “Kamu perempuan, perempuan bukan begitu cara kerjanya, kasar.” Mamak juga pernah bilang, “Syukur kamu pakai rok, kalau tidak udahlah…” (NB: Sejak SMA kelas 2 aku istiqomah memakai rok atau celana gombrang).

Banyak komentar tertuju pada hal itu. Komentar itu pun beragam. Sebagian orang memberi tanggapan negatif dan sebagian lain positif. Negatif, karena menurut mereka ini tidak baik untukku. Positif, karena lebih baik menjadi diriku sendiri. Semua itu kudengar baik-baik dan kutanam kuat dalam benakku. Aku hanya berusaha semampuku untuk menjadi feminim walau selalu gagal dan gagal lagi. Hingga akhirnya aku tak perduli lagi.

Saat duduk di bangku sekolah, aku masih menjaga pergaulan dengan lelaki. Meski aku tomboy, aku lebih nyaman bergaul dengan perempuan. Terlebih lagi saat SMA karena aku merupakan seorang ketua rohis putri. Namun, saat kuliah aku mulai mengalihkan perhatianku pada komunitas seperti sanggar teater dan menulis. Aku pernah setahun bergabung di LDK. Namun, bersebab padatnya jadwal kuliah dan waktu kegiatan yang sering berbenturan dengan kegiatan sanggar, aku memilih keluar.  Perlahan, aku mulai banyak bergaul dengan laki-laki. Aku mulai paham bahwa laki-laki itu terkadang lebih enak untuk diajak berdiskusi dan berpikir mungkin karena logika lebih mendominasi. Kami lantas lebih sering membahas soal kepenulisan atau hal bersifat ilmu sastra daripada bergosip. Aku juga tak segan berbagi informasi dengan laki-laki di sosial media.

Semakin hari kekakuanku terhadap laki-laki berkurang. Oleh karena itu, aku yang dulu sangat enggan memulai duluan untuk berkomunikasi namun sekarang tidak lagi. Aku tak canggung dan tak merasa malu selama hal yang aku lakukan itu bukan merendahkan martabatku sebagai perempuan. Hal itu ternyata tanpa sadar semakin membentuk perilakuku mirip lelaki. Aku dipanggil “Tahe, Teuku, Cutbang dan sebutan laki-laki lainnya”. Mendapat sebutan seperti itu aku pun merasa bangga.
 

Suatu ketika, saat aku pulang ke kampung halaman untuk mengisi liburan semester genap. Seolah menjadi kebutuhan, setiap tiba di kampung, aku memangkas rambut hingga di bawah telinga-terlihat seperti lelaki memang. Hingga suatu hari, salah seorang sahabatku datang berkunjung. Seperti biasa, kami pun melepas rindu (NB: sahabatku perempuan semua kecuali Husin Rozi. Itu pun kalau dia merasa). Saat berbicara, aku tentu menanggalkan jilbab sebab sedang berada di dalam rumah. Di sela cang panah, “Duhh, macem bicara ma cowok korea aja lah!” Ucapnya mengeluh sendiri. Aku tertegun disambut tawa. Sorenya, kubaca status FB-nya berisi “Bicara berdua ma Icut macem bicara ma cowok Korea”. “Jiah! Dari mananya? Sipit kagak ni mata!” Saat kutanya ia menjelaskan, “ya, gaya bicaramu, ditambah penampilanmu itu, loh, Cut!” “Hahaha,” gelakku kemudian.  Dan, untuk selanjutnya lebih gila lagi. Salah satu teman kuliahku juga pernah berkata, “Cut mirip cowok Turki”. Abang guruku (NSA) pernah berkata, “Kalau Kau cowok, Kau ganteng, Tahe!” Dan, yang paling parah, beberapa orang berkata aku mirip Andika Pratama (suami Ussy). Wuaahh! Huahahaha!

Perlahan aku merasa semakin nyaman atas sikapku tapi tidak pada tampilan fisikku. Aku memang tak memakai celana layaknya lelaki. Aku juga tetap berjilbab selama di depan nonmahram. Namun, bajuku selalu coklat-hitam, atau warna lain yang gelap. Terkadang, aku pakai jilbab coklat, baju hitam, rok biru. Sangat tidak nyambung, ‘kan? Istilah teman-temanku, model “Medan-Jakarta-Bandung” atau “A-B-C”.

Yah, hingga suatu saat aku bertemu seorang sahabat baru yang sedikit cerewet tentang penampilanku. Ia tak lain adalah Azwita. Ia bagiku adalah pengamat fashion. Hahaha. Semenjak dengannya, aku mulai berubah dalam hal berpenampilan. Busanaku mulai berwarna. Hingga kini, pemilihan baju hingga gaya hijabku mulai variatif. Aku merasa mulai menemukan gayaku yang sesungguhnya. Yang paling  waw adalah beberapa bulan lalu, ketika aku menyambangi SMA-ku untuk melegalisir ijazah, tak kusangka banyak yang berkomentar aku sudah cantik! Mulai dari teman yang kebetulan sedang PPL di sana hingga guru-guruku! “Dulu Icut cupu dan polos, sekarang dah cantik kali ya, tapi, mansetnya kok hilang? Aku lantas menjawab dengan santai dan tak merasa berdosa, “Iya, Buk. Hilang di telan alam,” kemudian gelak tawa terdengar. (Untuk manset, aku punya alasan sendiri mengapa tak memakainya lagi saat ini-dan aku menyimpan harapan untuk memakainya lagi suatu saat nanti).

Kini, aku menikmati ke-maco-anku ini. Banyak yang bilang aku maco, tomboy, cem lakik, reper, atau apa lah, tapi semuanya berujung satu kata, yakni keren! (Entah itu hanya menghibur atau memang tulus dari hati, aku tak ambil pusing). So, kupikir tak ada yang salah dengan ini. Kalaupun aku harus berubah, itu perlu waktu. Sembari berupaya meminimalisasi ke-maco-an ini, aku berusaha memperbaiki ibadah dan akhlakku sebagai seorang muslimah (kukira itu lebih urgent). Hal yang paling penting adalah kalimat yang diucapkan salah seorang temanku “Cewe tomboy juga banyak peminatnya, kok, Cut!” Dan, "Yang paling penting, tak masalah menjadi cewe maco selama tidak maho! (Na'udzubillah) Heuheu. :D (Mudah-mudahan ini bukan sekedar untuk menghiburku).









Rabu, 04 Februari 2015

Alarm Keras

Bismillahirrahmaniirahhim...

Sebelumnya, saya hanya ingin mengatakan bahwa tulisan ini bukanlah sebuah narasi. Namun, bisa jadi suatu saat nanti tulisan ini dapat berubah wujud menjadi sebuah narasi. Tulisan ini juga bukan lah sebuah teks persuatif, namun bisa jadi ketika membacanya, Anda akan merasa tertarik untuk melakukan suatu hal. Tulisan ini bukan pula sebuah teks eksposisi prosedural, hanya saja mendekati karena merupakan poin-poin mencapai suatu hal yang dilakukan secara berututan. Hmm, lalu apakah ini terkait argumen atau deskripsi? Bisa jadi! Sebab, ini merupakan argumen dan gambaran diri seseorang yang ingin mencapai keinginannya. Selamat membaca!


Saya adalah anak tunggal dari Ibu dan Ayah yang sangat saya sayangi. Saya merantau untuk menimba ilmu di sebuah kota besar di Aceh. Alhamdulillah, keluarga besar sangat mendukung dan banyak membantu. Saat ini, usia saya 23 tahun. Sekitar 13 hari lagi saya akan diwisuda. Namun, apakah ini akhir segalanya? Tidak! Ini justru awal dari segalanya! Sangat banyak impian yang ingin saya capai. Dan, saya dengan tidak malu-malu akan mengungkapkannya di sini. Maksudnya apa? Jelas saya tidak mempunyai niatan untuk pamer. Saya justru akan menjadikan ini sebagai alarm keras agar saya selalu ingat akan impian saya. Dan lebih dari itu. Agar saya selalu berpacu, berusaha keras meraih impian saya!

1. Membawa Ayah dan Ibu ke Mekkah untuk naik haji
2. Menghafal Al-quran
3. Menjadi penulis yang menginspirasi
4. Mempunyai sebuah kemahiran memasak
5. Menjadi istri salihah dari suami salih dan ibu salihah bagi anak-anak salih/salihah

That's it! Tapi, walaupun hanya 5 poin tapi cara menempuhnya bukan hal mudah. Namun, tidak mudah bukan berarti tidak bisa. Semuanya akan mudah bila kita mempunyai niat dan tekad yang bulat. Apabila niat dan tekad sudah bulat, Bismillah...AllahummaPAKSAKAN! Maka mulailah! InsyaAllah semua akan menjadi nyata.  Aamiin Allahumma Aamiin. :) 

Jatuh bangun tentu akan hadir. Suatu waktu kita tentu akan berada pada titik jenuh pula. Hal antisipatif yang harus dilakukan adalah berbagi pada orang-orang yang dapat mengembalikan kita pada titik kembangkitan lagi. Berbagi tidak hanya dengan cara menemui orang secara langsung, juga dengan cara membaca biografi-biografi orang hebat-terutama ketika mereka berada pada titik 0. Atau bahkan, kita dapat membaca hikmah dari orang-orang hebat di sekeliling kita yang tanpa kita sadari mempunyai kisah hidup yang sangat dramatis dan penuh inspirasi. Bahkan binatang dan tumbuhan terkadang bisa memberi teladan yang baik bila kita mau sebentar saja bersatu dengan alam. 


The last, mohon doanya ya, manteman. Alarm keras ini akan senantiasa berbunyi sehingga impian saya dapat menjadi nyata!

Selasa, 03 Februari 2015

Dahaga


Meniti titi kehidupan fana
tertatih
merintih
sesekali ubun-ubun mendidih
menyisir gurun pasir tandus
terbakar
tersasar
betapa kerap dilanda lapar

Meneguk buih lautan luas
kian diteguk, kian dahaga
berharap dapat teguk habis
perut tak sebesar samudera

Menyendok buih lautan
mentrasmigrasikan ke wadah pasir
namun selalu habis ditelan pasir

Di bibir laut,
terus menyendok
tak pernah henti
hingga lelah
hingga lelap
hingga habis
diteguk laut
dahaga


 






Selasa, 27 Januari 2015

Tiada yang Tahu



Malam memang tak senantiasa mengabarkan tentangmu
Pun siang tak selalu mengirim pesanmu lewat angin sepoinya
Perlahan waktu melebur jadi cerita
Hingga aku senantiasa menyimpannya melalui kisah
Sama.
Seperti tentangmu
Waktu-waktu bersamamu terlalu berharga untuk kuabaikan
Segala peluhmu telah kurasa
namun asinnya tak mampu kumangsa

Jarak memang terbentang
Waktu pun senantiasa berlalu
Kerut di wajah semakin jelas
Uban tersebar di seluruh penjuru kepala

Aku yang berjuang di sini
namun bukan berjuang
kau yang di sana selalu menanti kabarku
justru merasakan beban yang lebih
namun bagimu bukan beban

Terkadang
aku rindu serapahmu
manakala aku pulang bersama azan maghrib menggema

Tak jarang
aku haus candamu
manakala kita duduk berdua menatap langit sore di selasar rumah

Sering
aku terngiang petuahmu
manakala aku curahkan segala keluh kesah
Kala kutanya tentang cita-cita,
Kau tersenyum dan berkata, “Bersungguhlah, maka kau bisa”
Kala kutanya tentang cinta,
Kau  tersenyum dan berkata, “Akan indah pada waktunya”

Oh, Ibu…
Sesekali, kutangkap bayangmu dalam mimpi
tengah merintih
berdoa, memohon, pada-Nya
agar senantiasa menjauhkanku dari petaka
agar selalu melindungiku dari perbuatan mengundang murka

Oh, Ibu…
Entah hingga kapan aku mampu
Entah seberapa besar aku sanggup
membayar jasamu
tiada yang tahu