Namaku Cut
Atthahirah. Usiaku menginjak 23 tahun. Dalam hitungan hari, aku akan
melangsungkan akad wisuda. Alhamdulillah. Banyak kenikmatan yang telah Allah
limpahkan. Namun, sebagai manusia hina lagi dina, kuakui bahwa masih sering
terbesit keluh kesah di hati serta sikap dan perkataan yang mencerminkan
ketidaksyukuranku. Mungkin, judul dari tulisan ini salah satunya.
Beberapa hari
yang lalu, sebuah organisasi kepenulisan ternama yang berpusat di Indonesia dan
memiliki cabang hampir di seluruh negara di dunia mengadakan sebuah acara
besar. Workshop Nasional dan Launching Buku. Di sana, tamu yang hadir cukup
banyak dan variatif, mulai dari siswa, santri, mahasiswa hingga orang tua. Singkat
kisah, waktu istirahat tiba. Aku, sebagai salah satu panita beserta yang
lainnya menunaikan salat.

Saat di kamar
mandi, aku bertemu tiga santriwatiku yang baru selesai berwudu. Di sela kesibukan
mereka memakai kerudung,
manset,
bros hingga kaus kaki, terselip kalimat,
“Kak Cut maco, ya! Tapi keren! Suka suka!” Sontak aku kaget. Seingatku, kami
baru empat kali bertatap muka. Pertama, saat kunjungan mereka ke markas kami;
kedua dan ketiga di dayah mereka, dan keempat di sini. Aku tak banyak komentar
sebab kepalaku dipenuhi keheranan mendalam, “
Ternyata…Ohh My Allah”.
Jujur, ini kali
kesekian. Dan, aku tak pernah mau menghitungnya. Aku pernah mengajar di
beberapa sekolah di kota besar ini. Pernah di SMKN Penerbangan Aceh, SMAN 3
Banda Aceh, SMPN 18 Aceh, Lab School, Darul Ulum, SMK 3, SD 50, LBB PHI-BETA hingga
RIAB. Dan, banyak sekali kesan yang kuperoleh dari semua tempat itu, salah
satunya sebutan bahwa aku tomboy, maco,
cem lakik, reper, keren, dan sejenisnya. Hahaha. Aku merasa heran pada
diriku sendiri dan bertanya dalam hati, "Bukankah dulu hal ini merupakan salah satu impianku?
***
Dulu, beberapa
waktu lalu, tepatnya saat aku duduk di bangku SD. Aku senang melihat cewe-cewe tomboy. Cewe yang sedang bermain basket, polwan, kowad, dan semacamnya. Aku
suka melihat gaya mereka. Gaya mereka berbicara yang tegas dan tidak lembek.
Gerakan mereka yang cepat dan cara mereka bergaul dengan sesama maupun lawan
jenis begitu luwes, tidak kaku. Cara mereka berjalan, berpakaian, hmm. Hingga
suatu waktu terbesit di hati bahwa aku ingin seperti mereka tapi rasa-rasanya
tidak mungkin melihat kondisiku yang mencla mencle. Ya. Hanya sampai di situ
aku berharap. Hanya sekali. Tapi, tak kusangka berefek luar biasa di kemudian
hari.
Mulai saat itu,
aku tak sadar bahwa hal-hal berbau feminim sangat kuhindari. Ya, walau aku
masih senang mengoleksi benda berwarna pink namun cara berbicara, berjalan,
makan, dan lain-lain sebisa mungkin aku lakukan selayaknya laki-laki. Perlahan
aku lebih suka memilih tas ransel pendaki gunung untuk dibeli saat hendak masuk
tahun ajaran baru. Aku suka celana gombrang.
Jujur, aku tak sadar dengan semua perubahan kecil-kecil itu. Hingga untuk
pertama kali, salah seorang kerabat yang telah lama tak kukunjungi berkata, ”Wah,
dek Cut tomboy kali, kok? Haha.” Saat itu tentu reaksiku heran bercampur
senang. Saat itu aku duduk di bangku SMP. Dan kemudian terus berlanjut hingga
kini.
Ayah dan Ibu?
Mereka sudah lelah mengarahkanku. Ayah bahkan kerap memukul pelan dengkulku
dengan sendok kala menemukan kaki kiriku kulipat berdiri di atas kursi. Mamak
tak bosan mengingatkanku untuk berjalan dengan bagus. Ayah pernah bilang, “Kamu
perempuan, perempuan bukan begitu cara kerjanya, kasar.” Mamak juga pernah
bilang, “Syukur kamu pakai rok, kalau tidak udahlah…” (NB: Sejak SMA kelas 2
aku istiqomah memakai rok atau celana
gombrang).
Banyak komentar
tertuju pada hal itu. Komentar itu pun beragam. Sebagian orang memberi
tanggapan negatif dan sebagian lain positif. Negatif, karena menurut mereka ini
tidak baik untukku. Positif, karena lebih baik menjadi diriku sendiri. Semua itu
kudengar baik-baik dan kutanam kuat dalam benakku. Aku hanya berusaha semampuku
untuk menjadi feminim walau selalu gagal dan gagal lagi. Hingga akhirnya aku
tak perduli lagi.

Saat duduk di
bangku sekolah, aku masih menjaga pergaulan dengan lelaki. Meski aku
tomboy, aku lebih nyaman bergaul dengan
perempuan. Terlebih lagi saat SMA karena aku merupakan seorang ketua rohis
putri. Namun, saat kuliah aku mulai mengalihkan perhatianku pada komunitas
seperti sanggar teater dan menulis. Aku pernah setahun bergabung di LDK. Namun,
bersebab padatnya jadwal kuliah dan waktu kegiatan yang sering berbenturan
dengan kegiatan sanggar, aku memilih keluar. Perlahan, aku mulai banyak bergaul dengan
laki-laki. Aku mulai paham bahwa laki-laki itu terkadang lebih enak untuk
diajak berdiskusi dan berpikir mungkin karena logika lebih mendominasi. Kami lantas lebih sering membahas soal kepenulisan atau hal bersifat ilmu sastra
daripada bergosip. Aku juga tak segan berbagi informasi dengan laki-laki di
sosial media.
Semakin hari
kekakuanku terhadap laki-laki berkurang. Oleh karena itu, aku yang dulu sangat
enggan memulai duluan untuk berkomunikasi namun sekarang tidak lagi. Aku tak
canggung dan tak merasa malu selama hal yang aku lakukan itu bukan merendahkan
martabatku sebagai perempuan. Hal itu ternyata tanpa sadar semakin membentuk
perilakuku mirip lelaki. Aku dipanggil “Tahe, Teuku, Cutbang dan sebutan
laki-laki lainnya”. Mendapat sebutan seperti itu aku pun merasa bangga.
Suatu ketika,
saat aku pulang ke kampung halaman untuk mengisi liburan semester genap. Seolah
menjadi kebutuhan, setiap tiba di kampung, aku memangkas rambut hingga di bawah
telinga-terlihat seperti lelaki memang. Hingga suatu hari, salah seorang
sahabatku datang berkunjung. Seperti biasa, kami pun melepas rindu (NB:
sahabatku perempuan semua kecuali Husin Rozi. Itu pun kalau dia merasa). Saat
berbicara, aku tentu menanggalkan jilbab sebab sedang berada di dalam rumah. Di
sela cang panah, “Duhh, macem bicara
ma cowok korea aja lah!” Ucapnya mengeluh sendiri. Aku tertegun disambut tawa.
Sorenya, kubaca status FB-nya berisi “Bicara berdua ma Icut macem bicara ma
cowok Korea”. “Jiah! Dari mananya? Sipit
kagak ni mata!” Saat kutanya ia menjelaskan, “ya, gaya bicaramu, ditambah
penampilanmu itu, loh, Cut!” “Hahaha,” gelakku kemudian. Dan, untuk selanjutnya lebih gila lagi. Salah
satu teman kuliahku juga pernah berkata, “Cut mirip cowok Turki”. Abang guruku
(NSA) pernah berkata, “Kalau Kau cowok, Kau ganteng, Tahe!” Dan, yang paling
parah, beberapa orang berkata aku mirip Andika Pratama (suami Ussy). Wuaahh! Huahahaha!

Perlahan aku
merasa semakin nyaman atas sikapku tapi tidak pada tampilan fisikku. Aku
memang tak memakai celana layaknya lelaki. Aku juga tetap berjilbab selama di
depan nonmahram. Namun, bajuku selalu coklat-hitam, atau warna lain yang gelap. Terkadang, aku pakai jilbab coklat, baju hitam, rok biru. Sangat tidak nyambung, ‘kan?
Istilah teman-temanku, model “Medan-Jakarta-Bandung” atau “A-B-C”.
Yah, hingga
suatu saat aku bertemu seorang sahabat baru yang sedikit cerewet tentang
penampilanku. Ia tak lain adalah Azwita. Ia bagiku adalah pengamat fashion. Hahaha. Semenjak dengannya, aku
mulai berubah dalam hal berpenampilan. Busanaku mulai berwarna. Hingga kini,
pemilihan baju hingga gaya hijabku mulai variatif. Aku merasa mulai menemukan
gayaku yang sesungguhnya. Yang paling waw adalah beberapa bulan lalu, ketika
aku menyambangi SMA-ku untuk melegalisir ijazah, tak kusangka banyak yang
berkomentar aku sudah cantik! Mulai dari teman yang kebetulan sedang PPL di
sana hingga guru-guruku! “Dulu Icut cupu dan polos, sekarang dah cantik kali ya,
tapi, mansetnya kok hilang? Aku lantas menjawab dengan santai dan tak merasa
berdosa, “Iya, Buk. Hilang di telan alam,” kemudian gelak tawa terdengar.
(Untuk manset, aku punya alasan sendiri mengapa tak memakainya lagi saat ini-dan aku menyimpan harapan untuk memakainya lagi suatu saat nanti).
Kini, aku
menikmati ke-maco-anku ini. Banyak yang bilang aku maco, tomboy, cem lakik, reper, atau apa lah, tapi semuanya
berujung satu kata, yakni keren! (Entah itu hanya menghibur atau memang tulus
dari hati, aku tak ambil pusing). So,
kupikir tak ada yang salah dengan ini. Kalaupun aku harus berubah, itu perlu
waktu. Sembari berupaya meminimalisasi ke-maco-an ini, aku berusaha memperbaiki ibadah dan akhlakku sebagai seorang muslimah (kukira itu lebih urgent). Hal yang paling penting adalah kalimat yang diucapkan salah seorang
temanku “Cewe tomboy juga banyak peminatnya, kok, Cut!” Dan, "Yang paling penting, tak masalah menjadi cewe maco selama tidak maho! (Na'udzubillah) Heuheu. :D (Mudah-mudahan ini bukan sekedar untuk
menghiburku).